Patuh dengan Sukacita

Seringkali kita menganggap bahwa kata patuh identik dengan terkekang. Patuh pada otoritas berarti tidak bisa berbuat semau gue karena ada aturan yang berlaku. Adanya aturan yang harus dipatuhi juga berarti ada konsekuensi atau hukuman yang harus diterima jika aturan itu tidak dipatuhi. Hal - hal semacam ini agaknya membuat kita merasa kepatuhan adalah suatu hal kaku yang tidak bisa membebaskan diri kita.

Bagi seorang pemimpin, memiliki anak buah yang patuh juga bisa membuatnya menjadi otoriter. Tidak jarang pemimpin yang kemudian bertindak semena mena karena anak buahnya mau menuruti apapun katanya. Itu sebabnya, akhirnya kekuasaan mampu memabukkan seseorang. Sebab memiliki otoritas merupakan ujian berat,  keinginan menggunakan ego bisa mengalahkan kepentingan yang sebenarnya.

Kejemuan pada otoritas yang otoriter akhirnya membuat banyak orang merindukan kebebasan. Bebas berbuat apapun, bebas menentukan jalan hidup, bebas mengatur diri sendiri, dan kebebasan-kebebasan lain. Merdeka..bebas.. adalah dambaan dari setiap pribadi yang ada di bawah pemimpin yang otoriter. Namun kebebasan yang sebebas-bebasnya nyatanya tak seindah bayangan. Sebab sebebas-bebasnya manusia, selalu masih ada hukum alam yang tidak bisa ditentang. Ada akibat yang pasti dicapai manakala kebabasan itu dilakukan tetapi menentang hukum alam. Perilaku seks bebas yang menyimpang misalnya, dilakukan atas dasar ego setiap pribadi, tapi menimbulkan penyakit-penyakit yang tidak bisa dihindari. Bukan semata azab dari Tuhan, tapi begitulah manusia tidak pernah bisa bebas sebebas-bebasnya karena selalu ada konsekuensi yang harus diterima dari setiap perbuatan.

Perilaku bebas yang kebablasan membuat orang merindukan otoritas yang nyata. Membuat orang mempertanyakan benarkan kebebasan tanpa aturan itu menghasilkan kedamaian? (Ah, itu sebabnya sekarang banyak slogan "Isih penak jamanku to" :D ). Tapi bukankah otoritas itu mampu menimbulkan sikap otoriter yang merugikan rakyat banyak?

"Some people say that authority leads to tyranny, and that compliance, whether willing or forced, is kin to slavery. But that isn't so. Without authority, there can be no freedom. Unless authority is abused, it exist in happy harmony to those place under it" (Philosophy of Education, p.69)

Quote tersebut mengingatkan kami pada tata surya yang berjalan teratur pada orbitnya. Patuh pada otoritas dan menimbulkan segenap manfaat bagi setiap makhluk yang bermukim di dalamnya. Bagaimana para planet menjalani orbitnya tanpa merasa terbebani, patuh tapi bahagia.

Charlotte Mason, dalam filosofi pendidikannya, mengambil contoh ini sebagai bentuk ideal dari hubungan orangtua dan anak. Orangtua seharusnya menjadi sosok yang dipatuhi anak, TETAPI bukan karena ego pribadinya. Orangtua memiliki otoritas untuk mengatur anak tetapi dengan kesadaran bahwa dirinya juga berada di bawah otoritas yang lebih tinggi. Pedoman yang dipakai untuk mengatur bukan masalah subjektifitas orangtua, namun kebenaran universal. Meski awalnya sulit, kalau anak tahu bahwa aturan itu akan mendulang manfaat -baik untuk dirinya maupun untuk orang banyak- , lama lama ia akan menjalani apa yang diatur itu dengan sukacita. Manakala otoritas itu digunakan dengan baik, ditaati oleh kedua belah pihak (orangtua dan anak, guru dan murid) maka yang terjadi adalah kebebasan yang terarah.

Contohnya begini, Ratna - teman kami - menerapkan aturan di rumahnya bahwa setiap pagi semuanya harus sarapan buah. Mulai dari anaknya yang masih berusia 1 tahun sampai orangtuanya. Alasan ini adalah demi kesehatan bersama. Efek dari makan buah setiap hari juga mereka rasakan manfaatnya. Nah, alasan yang dipakai Ratna untuk menegakkan otoritasnya dengan memberi peraturan ini bukan semata untuk kesenangan pribadi, gengsi atau supaya dia enak sendiri, namun karena secara universal kita tahu bahwa makan buah baik bagi kesehatan. Tidak ada excuse bagi anak-anaknya untuk melanggar aturan ini, karena orangtuanya pun melakukan ini. Artinya, orangtua sejajar dengan anak dalam hal tunduk patuh pada aturan. Dan karena sudah terbiasa, anak-anak pun akhirnya menjalaninya dengan sukacita.

Berbeda kasus dengan teman kami yang lain, sebut saja namanya Mawar. Ia memaksa anaknya (dengan nada keras dan kalimat yang wajib ditaati) memakai baju tertentu pada kesempatan tertentu hanya karena kalau anaknya tidak memakai baju itu ia akan menanggung malu. Dalam hal ini, prinsip yang dipakainya berdasarkan subjektifitas pribadi orangtuanya. Malu menurut orangtua belum tentu malu menurut anak. Maka tindakan semacam itu bisa dikatakan melebihi otoritas yang digunakan, sehingga ia bersikap otoriter. Tidak heran kalau anaknya kemudian melakukannya dengan perasaan terkekang dan tidak bahagia.

Ya, pada akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa otoritas seharusnya membawa pada kebahagiaan. Kalau otoritas yang dipakai menimbulkan kerugian pada satu pihak, maka barangkali bisa kita sebut itu sebagai otoriter. Anak-anak seharusnya menaati aturan dengan 'willing obedience', meski pada awalnya -saat ia belum sadar akan manfaat menaati otoritas itu- ia merasa terpaksa, tapi seiring dengan berjalannya waktu ia akan menaatinya dengan sukacita.

Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2