Bermain dengan Hasrat


Image from fortune.com
Pernah posting di sosial media dan merasa bahagia saat mendapat like? Pernah bertanya kenapa rasa bahagia itu menyergapi diri saat banyak orang menyukai postingan anda? Pernah merasa kecanduan like dan merasa perlu posting sesuatu agar dapat like?

Hal ini menjadi perbincangan seru dalam diskusi filosofi CM kami hari ini. Tidak perlu membicarakan orang lain, karena nyatanya kami yang ada di dalam diskusi ini pun mengakui hal itu; bahwa rasa bahagia itu datang karena postingan banyak disukai.  Pertanyaannya adalah kenapa bisa begitu? Salahkah perasaan itu? Haruskah dikendalikan? Bagaimana mengendalikannya?

Mbak Zia, anggota diskusi kami yang juga seorang psikolog, bercerita bahwa sejatinya pujian dan persetujuan dari orang lain itu memang kebutuhan dasar manusia. Kedua hal ini bagai 'makanan' untuk amygdala kita, sehingga saat kebutuhan ini terpenuhi ia akan mengeluarkan hormon oksitosin yang mengalir ke seluruh tubuh dan membuat kita bahagia. Jadi sangat wajar ketika kita beropini, bercerita tentang kehidupan kita, berbagi informasi di sosial media dan kemudian mendapat banyak like, maka kemudian kita menjadi bahagia karena disetujui banyak orang. Manusia memang memiliki hasrat alami untuk dipuji dan diakui, bahkan anak umur 2 tahun sekalipun senang sekali manakala apa yang ia lakukan mendapat tepukan tangan dari orang sekitarnya. Pengakuan dari orang lain bahwa kita bisa melakukan sesuatu dengan baik merupakan kebutuhan manusia, ini bukan sebuah perasaan yang salah.

Namun selain hasrat tersebut, manusia juga memiliki banyak hasrat lain. Dalam bab bertitel Hasrat Intelektual di buku Philosophy of Education, CM mendeskripsikan bahwa sedari dini manusia juga sudah memiliki hasrat untuk lebih baik dibanding teman-temannya, hasrat belajar dan berpengetahuan, hasrat memiliki sesuatu, dan hasrat-hasrat lainnya. Hasrat ini alami dan tidak salah, hanya saja satu hasrat terkadang begitu mendominasi sehingga mengaburkan hasrat-hasrat lain yang sebenarnya penting . Pendidikan menjadi proses krusial dalam mengembangkan atau mematikan hasrat-hasrat manusia. Seringkali, orangtua dan guru memakai salah satu hasrat anak didiknya secara berlebihan untuk meraih suatu tujuan, yang mana malah merusak hasrat lain yang seharusnya menjadi alasan utamanya dalam melakukan sesuatu.

"Barangkali tidak ada kesalahan yang lebih fatal dalam praktik pendidikan kita daripada memanfaatkan hasrat-hasrat spiritual-intelektual itu dengan sembrono. Setiap anak ingin diakui, bahkan bayi ingin dipuji ketika punya sepatu baru. Setiap anak ingin jadi yang nomor satu, ingin dapat bagian kalau ada tawaran apa pun. Ia ingin dikagumi, ingin menjadi pemimpin dan bisa mengatur teman-temannya, ingin disukai oleh sesama teman sebaya maupun orang dewasa, dan, tak ketinggalan, ia ingin memuaskan rasa ingin tahunya. Semua hasrat alamiah itu hadir dalam diri anak, siap bekerja kapan pun diaktifkan. Tugas kita adalah mendidik anak-anak lewat hasrat-hasrat ini secara tepat. Namun sayangnya, kita memanfaatkan hasrat-hasrat ini bukan dengan bijaksana, tapi secara berlebihan."  (Philosophy of Education, pp 57)


Kalau kita melihat bayi atau batita yang sedang belajar mengenal dunia, kita bisa melihat bahwa dengan mata berbinar-binar mereka mencoba merabai berbagai hal, melakukan berbagai eksperimen, menirukan kelakuan orang dewasa di sekitarnya, dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa hasrat belajar dan hasrat untuk meningkatkan kemampuan memang sejatinya ada di dalam diri manusia.  Namun alih-alih memupuk hasrat ini, orang dewasa kerap mengiming-imingi kegiatan belajarnya dengan mempermainkan hasrat lainnya secara berlebihan, sehingga kemudian hasrat belajarnya perlahan memudar dan berganti dengan hasrat ingin mendapat hadiah (atau pujian) atau hasrat untuk menjadi juara misalnya.

Seorang kawan diskusi kami bercerita bahwa dalam sekolah anaknya yang lalu ada papan pengumuman untuk menunjukkan siapa yang berperilaku paling baik dan paling buruk di kelas. Daftar tersebut naik turun seiring dengan berbagai perilaku anak di kelas. Bagi anak yang terbiasa duduk manis dan mengikuti perintah guru dengan baik, daftar ini membanggakan. Namun bagi anak yang aktif, daftar ini bisa mengintimadasi sekaligus memalukan. Efeknya kemudian adalah anak-anak akan mencoba berperilaku baik demi hasrat untuk menjadi nomor satu pada papan pengumuman, dan bukan berperilaku baik karena memang sejatinya manusia butuh berperilaku baik dalam interaksi sosialnya. Hasrat tergantikan.

Kawan kami yang lain bercerita bahwa saat ia bersekolah dulu, setiap anak yang mendapat ranking tertinggi akan dipanggil maju ke depan mimbar sekolah dan diberi penghargaan di depan seantero sekolah. Bukan hanya penghargaan namun juga beasiswa, sehingga kawan kami ini memiliki hasrat tinggi untuk berada di depan karena ingin membanggakan orangtuanya sekaligus memenangkan beasiswa ini. Segala daya dan upaya ia kerahkan demi hasrat ini. Ia hafal total berbagai materi pelajaran hingga akhirnya setelah perjuangan yang panjang ia berhasil menjadi juara. Namun apa kabar hasratnya untuk memiliki pengetahuan dan menjadi pribadi yang terampil? Ia mengakui bahwa semua hilang. Hasrat menjadi juara itu mendominasi  dirinya secara membabi buta, dan parahnya ketika akhirnya menjadi juara ternyata rasanya begitu saja, tidak terlalu istimewa. Kosong dan hampa katanya.

"Sekolah dijalankan dengan memanipulasi hasrat anak untuk memenangkan kompetisi, untuk menjadi juara; lantas yang maju paling depan bukan yang betul-betul tercakap, tetapi yang paling ambisius. Kita memanfaatkan hasrat anak untuk mendapatkan hal yang menarik dengan mengiming-imingi mereka hadiah, piala, beasiswa, insentif apa pun yang dampaknya membangkitkan keserakahan anak. Kita mempermainkan ego anak yang ingin menonjol dan hasratnya ingin disukai oleh gurunya, sampai ia belajar mati-matian melebihi batas kekuatannya."  (Philosophy of Education, pp 57)

Ini miris dan mengerikan menurut saya. Betapa kita para pendidik secara tidak sadar telah mengebiri hasrat belajar anak-anak dan menumbuh-suburkan hasrat kompetisi serta hasrat ingin diakuinya secara berlebihan. Efeknya barangkali tidak tampak saat ini, tapi ketika hasrat berkompetisi itu sudah merasuki sanubari manusia secara dominan, maka apapun dilakukan demi memenangkan pengakuan bahwa dirinya lebih baik dibanding yang lain. Mulai dari hal kecil seperti gambar di bawah paragraf ini, sampai perebutan kekuasaan di berbagai perkumpulan.


Apa yang dilakukan sekolah, orangtua ataupun lembaga pendidikan lainnya bukan saja berkontribusi terhadap pengetahuan anak didiknya, namun yang terutama adalah pada menumbuh-kembangkan hasrat-hasrat mereka. Berbahagialah orangtua ataupun sekolah yang berhasil mempertahankan hasrat belajar anak dengan sukacita sehingga mereka mampu tumbuh dewasa dengan kecintaan alamiah pada proses belajar. Namun sebaliknya, efek mempermainkan hasrat yang bukan hasrat berpengetahuan ini juga tidak sederhana, diri manusia yang tidak sadar akan hasratnya bisa menjadi pribadi yang mudah sekali diperdaya hasratnya sendiri. Hidup semata mengejar sesuatu yang saat sudah didapat rasanya kosong alih-alih mengejar sesuatu yang memang layak dikejar.
"Seperti atlet yang kemudian mendapati bahwa tubuhnya cedera karena terlalu berlebihan digembleng pada otot tertentu saja, begitu juga anak yang distimulasi ambisi dan hasrat berkompetisinya saja akan menjadi pribadi yang cedera. Tapi masih ada yang lebih buruk. Semua manusia lapar dan haus akan pengetahuan, sama seperti kita menghasrati makanan. Kita tahu bahwa kalau anak dibiasakan makan junk food yang rasanya enak bisa mematikan seleranya untuk makan makanan sehat. Begitu pula dampak terburuk dari memanfaatkan hasrat lain selain hasrat belajar yang alamiah untuk memotivasi anak belajar adalah matinya cinta alamiah anak terhadap pengetahuan, yang seharusnya memadai untuk membuat anak menjalani proses belajar selama usia sekolah dengan gembira, bahkan memberikan antusiasme belajar hal-hal baru pada masa tuanya. Lalu para siswa dan siswi itu menjejalkan hafalan tanpa niat untuk memahami; maka mereka lulus ujian tapi mereka tetap tidak paham”


Sudah fitrahnya manusia memiliki beragam hasrat, maka hasrat ingin dipuji, ingin menang, ingin diakui itu memang tidak bisa dinafikan. Hanya saja juga tidak perlu digembleng agar semakin besar. "Puji prosesnya, bukan hasilnya" kata Mbak Icha dalam diskusi kami tersebut. Manakala pendidikan karakter menjadi tujuan dari pendidikan, maka kita tidak perlu memuji hasil secara berlebihan. Biarkan anak-anak tahu bahwa yang berharga adalah prosesnya dalam mengerjakan sesuatu, bukan hasilnya yang perlu dikejar agar meraih kemenangan. Mempertahankan hasrat belajar musti jadi tujuan utama dalam proses pendidikan.


Merefleksikan Hasrat

Sebagai manusia dewasa yang sudah mampu berdiri sendiri, kita perlu lebih sadar dengan hasrat-hasrat apa yang melingkupi diri kita. Jangan sampai hidup kita dikendalikan oleh hasrat yang sebenarnya tidak kita inginkan. Hasrat ingin dipuji dan diakui tidak bisa dinafikan memang ada di dalam diri kita, tapi apakah kita melakukan berbagai hal hanya demi pujian? Era sosial media ini memang mampu menumbuh-suburkan hasrat ini dengan baik. Pujian dan pengakuan bisa tampak dari berapa jumlah orang yang menyukai unggahan kita. Sebuah ungkapan, foto atau video bisa menyebar dengan cepat membuat pengunggahnya mendadak terkenal dan bahagia karenanya. Hasrat untuk menjadi terkenal pun bagai dipupuk oleh berbagai sosmed ini.  Tinggal kita saja sebagai sesosok pribadi, mampukah kita mengendalikan hasrat itu? Kita perlu bertanya pada diri kita, mengapa kita melakukan ini? Apa hasrat yang mendasarinya? Benarkah ini penting untuk dilakukan? Sebab, lagi-lagi mengutip Socrates, hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani.

Comments

  1. Mbak Ayu... Hiks. Aku membaca tulisan Mbak Ayu sambil lupa nafas. Ya Allaaaaaaah. Aku tidak pintar main layangan tapi aku punya tugas untuk menarik dan mengulur benang pengasuhan anak-anakku, Mbak Ayu. Ya Allah, semoga Allah swt menolong kita semua. Amin

    ReplyDelete
  2. Terimakasih ulasan ya Mbak Ayu, sangat mencerahkan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2