Posts

Showing posts from 2018

Seberapa Penting Merefleksikan Hidup?

Image
"Seberapa penting sih memikirkan hidup seperti apa yang mau kita jalani?" Beberapa waktu belakangan ini pertanyaan itu sering terngiang-ngiang di dalam kepala saya. Kenapa sih harus repot-repot mikir mau memilih cara A atau cara B kalau kita sudah bisa lihat contoh dari seorang teman yang memakai cara A dan sukses? Atau, kenapa harus dipikir kalau apa yang kita jalani dalam keseharian saja sudah berat, berpikir lagi jelas memakan waktu! Toh tanpa perlu dipikir pun, hidup akan berjalan seperti biasanya. Yang penting bisa makan, bisa bekerja, bisa sekolah, kebutuhan tercukupi, punya teman, badan sehat, cukup kan? Pikiran mengenai hal itu sempat muncul kembali saat saya melihat fenomena orang memilih baju di pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu. Biasanya saya tidak suka pergi ke mall, tapi karena didorong oleh kebutuhan, saya sekaligus menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan orang-orang di sana. Saat melihat beberapa orang memilih baju, saya bertanya-tanya

Percakapan Kaya vs Miskin

Beberapa waktu yang lalu Tara (7th) sempat membuat suatu pernyataan tentang kaya dan miskin. Bagi saya itu kesempatan baik untuk mengasah daya pikirnya. Jadi buru buru saya letakkan HP yang lagi ada di tangan saya dan menanggapi pertanyaannya. Tara : Kalau besar nanti aku ingin punya toko trus kalau yang beli orang kaya aku suruh bayar tapi kalau orang miskin gak usah bayar. Saya : Lalu bisa tahu dari mana orang itu kaya atau miskin? Tara : Ya lihat aja kalau nggak punya rumah berarti miskin, kalau punya rumah kaya. Saya : Loh ke toko kan gak bawa rumah.. Tara : Ya sudah lihat dari wajahnya. Kalau cantik berarti kaya, kalau bajunya udah jelek gitu berarti miskin. Saya : Apa orang miskin tidak bisa cantik? Tara : Ya bisa aja tapi kan bajunya nggak bagus. Saya : Bisa aja kan bajunya bagus tapi sebenarnya tidak kaya? Tara : Ya kalo buat makan aja susah harusnya nggak beli baju bagus dong Saya : Ya tapi kan ada saja orang yang seperti itu. Setelah itu percakapan ter

Analogi Manusia Goa ala Plato

Image
Di sebuah goa yang tentunya gelap, terdapat sekelompok orang yang duduk menghadap dinding goa. Kaki dan tangan mereka dirantai sehingga mereka tidak bisa bergerak. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menatap dinding goa, di mana terdapat bayangan-bayangan yang muncul di sana. Sebab ada sebuah api besar di belakang mereka sehingga apapun yang lewat di depan api itu akan terpantul di dinding goa tersebut. Yah, begitulah hidup yang mereka tahu. Bagi mereka hidup hanya sebatas berada dalam goa besar dan apa yang bisa mereka lihat hanyalah bayangan. Suatu hari salah seorang dari mereka bisa terlepas dari rantai tersebut. Dengan susah payah, karena kaki dan tangan biasa terbelenggu, akhirnya ia bisa terbangun dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam goa tersebut. Ia mulai menyadari bahwa apilah yang berperan besar dalam memantulkan berbagai hal yang lewat di depannya sehingga menjadi apa yang mereka lihat sehari-hari. Perlahan demi perlahan ia berusaha keluar goa dan me

Menumbuhkan Benak-benak Filosofis

Image
" Apa Tuhan itu butuh makan? " tanya bungsu saya, Tara, saat ia berusia 3 tahun. " Menurutku, tubuh ini seperti negara..ada pemimpin ada rakyat. Tubuh yang dipimpin dengan baik sama seperti negara yang dipimpin dengan baik " ujar sulung saya, Taci (10), beberapa hari yang lalu. Tidak terhitung betapa banyaknya anak-anak mengungkapkan pernyataan ataupun pertanyaan yang membuat kita terbelalak. Bingung rasanya mau menjawab atau menanggapi apa. Saya dan suami seringkali menganggap momen-momen seperti ini penting untuk pembelajaran bagi kami,  sebab pandangan mereka tentang hidup terkadang jauh lebih baik dibanding kami yang sudah banyak makan asam garam. Sebab  juga dikatakan bahwa kita tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah kalau kita tidak menjadi seperti anak kecil, maka kami seringkali menggunakan bahan diskusi dengan mereka sebagai refleksi bagi kehidupan kami. Ya, anak-anak memang filsuf handal. Namun mengapa sebagian besar dari mereka melupakan

Belajar dari Speaking Test

Hari itu saya bertugas menjadi S peaking Examiner untuk ujian Bahasa Inggris di sebuah sekolah swasta tingkat SMA. Speaking test memang merupakan salah satu kegiatan favorit saya sebagai guru. Bukan karena ujiannya, tapi karena pada proses ini saya merasa bisa meneliti lebih jauh mengenai pribadi seseorang, beserta dengan hal hal yang mempengaruhinya. Saya suka menggunakan kesempatan ini untuk belajar banyak dari setiap kandidat yang saya ajak bicara. Pun begitu dengan hari ini, selalu ada pengalaman berkesan yang saya dapatkan dari berbincang empat mata dengan kandidat-kandidat ujian tersebut. Kebanyakan anak remaja ibu kota memang memiliki ciri khas cerita yang sama. Kebingungan tentang langkah ke depan, tidak mengerti jelas mengenai apa yang sedang dijalaninya, memilih sesuatu tanpa dasar pertimbangan yang matang, khas anak muda zaman now . Namun tentunya tidak semua anak muda berlaku demikian, masih banyak anak muda harapan bangsa yang punya visi jelas dengan rencana

Mencari Partner Mengajari Anak

Image
"Kita tidak berantem setiap hari, sebulan sekali saja belum tentu..tapi setiap hari kita berinteraksi dengan orang lain dan tubuh kita pun menjadi bagian dari interaksi kita terhadap orang lain itu. Aikido membantu anak melatih tubuhnya, bukan sekedar jago berantem atau dapat medali. Latihan Aikido butuh ketekunan dan waktu lama, kalau memang ingin hasil yang cepat bisa dibanggakan, silahkan cari beladiri lain" tukas pelatih Aikido anak saya. Saya senang sekali menemukan partner-partner mengajari anak seperti ini. Mereka yang mengajar karena punya landasan filosofi yang sama dengan kami, dan bukan mengajar sekedar karena menjadikan apa yang diajarinya itu sebagai alat kebanggaan semata. Bagi saya, sebagai orangtua, manakala kita sudah menetapkan tujuan pendidikan, maka setiap langkah harus diupayakan untuk menuju ke sana. Termasuk dalam upaya mencari partner mengajari anak ini karena kita orangtua bukan manusia super yang bisa mengajarkan segalanya. Pelatih olahraga, mu

Educate Children To Be a Person

Image
"Adalah kecerobohan besar melepas anak ke dunia yang penuh dengan sesat pikir ini hanya dengan memiliki satu spesialisasi kemampuan." seru Charlotte Mason dalam bab mengenai hukum nalar yang jadi pembahasan saya dan teman-teman praktisi metode CM di Jakarta siang tadi. Peringatan ini muncul saat Charlotte membahas sesat pikir yang ada dalam teori Karl Marx soal pendidikan. Dalam salah satu klausulnya Marx menyatakan bahwa hendaknya pendidikan dan ekonomi menjadi satu kesatuan, artinya hasil dari pendidikan harus mampu menunjang kemampuan ekonomi yang bermanfaat bagi pribadi maupun negara. Paradigma ini agaknya bukan hanya diusung Marx tapi sudah menyebar ke hampir seluruh bagian dunia hingga saat ini. Anggapan bahwa tujuan pendidikan tak lain adalah untuk mencapai kesuksesan materi memang rasanya dianut oleh banyak sekali (golongan) manusia. Asumsinya adalah manakala seorang anak mempelajari suatu keahlian khusus yang bisa dijual, akan jauh lebih bermanfaat di masa depa

Kemampuan Membaca

Image
Sejak sebelum menikah dan memutuskan untuk menyekolahkan di rumah anak-anak saya kelak, saya menyadari bahwa kemampuan membaca menjadi salah satu kunci penting dalam proses belajar mereka. Dalam pikiran saya waktu itu, jika anak-anak sudah bisa membaca, maka akan banyak beban yang berkurang karena mereka akan bisa membaca sendiri buku-bukunya juga berbagai informasi yang ia perlukan. Jadilah, sejak masih hamil anak pertama saya sibuk menyiapkan bahan-bahan belajar membaca untuk bayi. Syukurlah keinginan impulsif saya itu kemudian disadarkan dengan banyak artikel-artikel Better Late Than Earlier , maupun tentang makna pendidikan yang sesungguhnya. Saat anak sudah bisa membaca di usia dini, lalu apa? Sekedar untuk kebanggaan saya kah? Agar saya dikatakan sebagai ibu hebat? Apakah kemampuan membunyikan hurufnya akan sejalan dengan keinginannya untuk memahami bacaan? Bagaimana jika kelak justru ia membaca hal-hal yang belum waktunya ia baca? Berbagai pertanyaan-pertanyaan semacam itu ber

Patuh dengan Sukacita

Seringkali kita menganggap bahwa kata patuh identik dengan terkekang. Patuh pada otoritas berarti tidak bisa berbuat semau gue karena ada aturan yang berlaku. Adanya aturan yang harus dipatuhi juga berarti ada konsekuensi atau hukuman yang harus diterima jika aturan itu tidak dipatuhi. Hal - hal semacam ini agaknya membuat kita merasa kepatuhan adalah suatu hal kaku yang tidak bisa membebaskan diri kita. Bagi seorang pemimpin, memiliki anak buah yang patuh juga bisa membuatnya menjadi otoriter. Tidak jarang pemimpin yang kemudian bertindak semena mena karena anak buahnya mau menuruti apapun katanya. Itu sebabnya, akhirnya kekuasaan mampu memabukkan seseorang. Sebab memiliki otoritas merupakan ujian berat,  keinginan menggunakan ego bisa mengalahkan kepentingan yang sebenarnya. Kejemuan pada otoritas yang otoriter akhirnya membuat banyak orang merindukan kebebasan. Bebas berbuat apapun, bebas menentukan jalan hidup, bebas mengatur diri sendiri, dan kebebasan-kebebasan lain. Merdeka

Mengimani Ide yang Tertabur

Berbagi cerita, bagi saya, sama menyenangkannya dengan mendengarkan cerita. Kalau ada pepatah yang berkata bahwa saat kita berbagi ilmu maka ilmu kita akan bertambah banyak, saya termasuk orang yang mengamini pepatah tersebut. Entah berapa ribu kali pepatah tersebut terjawantahkan dalam kehidupan nyata saya, dan sebab itu pula mengajar menjadi salah satu kegiatan kesukaan saya. Kemarin saat berkesempatan berbagi cerita tentang pendidikan karakter ala Charlotte Mason di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, saya pun belajar banyak. Salah satunya saat seorang peserta meminta solusi tentang bagaimana menangani anaknya, yang berusia 3,5 tahun, yang suka bermain sabun cuci tangan di wastafel. Sang ibu bingung karena sudah berulang kai diingatkan tapi sang anak terus saja mengulanginya. Sejujurnya saya bukan seorang yang ahli dalam menjawab pertanyaan teknis seperti itu, sebab rasanya teknis parenting saya saja agak kacau, tapi rupanya disitulah Tuhan ingin mengajarkan saya. Saat hend

Alasan (Tetap) Memilih Homeschooling - Part 3

Image
Sebuah Perjalanan Spiritual Bulan depan sulung kami, Taci, memasuki usia 10 tahun. Tidak terasa sudah sejauh itu pula kami nyemplung  ke dalam ide untuk tidak menyekolahkan anak-anak kami. Perjalanan homeschooling kami, seperti layaknya perjalanan kehidupan, sangat naik turun dengan beragam cerita yang kadang membuat tersenyum, namun tak jarang pula membuat merenung..betapa kami telah salah melakukan banyak hal. Kesalahan memang jadi bagian dalam proses homeschooling kami, baik dalam teknis maupun pemahaman. Akan tetapi dari kesalahan itulah kami belajar banyak. Sampai hari ini pun, rasanya belum ada yang benar benar berjalan dengan sempurna. Si kakak memang kadang menunjukkan perilaku atau perkataan yang menjadi buah dari makanannya selama ini, namun seringpula ia masih bertindak kekanak-kanakan atau mengimitasi perilaku buruk kami. Pun begitu dengan si adik yang super keras kepala, meski cerdas namun membuatnya mau menuruti perintah kami pada saat pertama (atau kalau dalam ba

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2

Image
Pemahaman Baru Tentang Arti Pendidikan Setelah menikah, saya mengungkapkan keinginan agar anak anak kami kelak masuk sekolah mulai SD saja, dan ternyata suami sangat setuju. Jadilah sejak hamil anak pertama kami sudah sibuk mencari berbagai macam informasi mengenai teknis pendidikan anak dan juga mengenai homeschooling. Saya sempat jadi ibu yang ingin anaknya berprestasi sejak dini. Bahkan sempat juga membuat kartu kartu bayi belajar baca saat masih hamil, dengan harapan saat anak saya lahir nanti akan segera bisa belajar membaca. Rasanya pasti membanggakan sekali kalau anak saya kelak bisa mencengangkan banyak orang dengan kemampuan yang dimilikinya sebelum anak-anak lain seusianya memilikinya. Jadilah berbagai buku anak, lagu anak, video edukatif sudah saya mulai kumpulkan sejak si kakak belum lahir. Sangat ambisius! Pemahaman tersebut baru perlahan lahan bergeser setelah saya bertemu (di dunia maya) dengan para orangtua homeschoolers. Awalnya, saya mencari informasi meng

Alasan Memilih Homeschooling - Part 1

Trouble Monday Memilih jalur yang tidak mainstream memang kerap kali menimbulkan banyak pertanyaan. Pun demikian dengan pilihan saya untuk menghomeschoolingkan anak-anak saya. Rentetan pertanyaan kerap saya terima dan rasanya meski keputusan untuk homeschool itu sudah lama saya ambil, namun tetap selalu ada saja teman baru ataupun teman lama yang mempertanyakan kenapa anak anak saya tidak sekolah formal. Jadi ya saya pikir ada baiknya saya ceritakan dengan lengkap disini. Saya mulai tergugah dengan permasalahan pendidikan anak saat saya mengajar di sebuah preschool di tengah waktu senggang saya menanti sidang skripsi. Sebelumnya saya memang suka sekali bermain dengan anak-anak; dengan senang hati saya suka menjaga keponakan keponakan saya saat ibu mereka tengah sibuk, mengajak mereka menginap ataupun bepergian. Maka ketika kakak kawan saya menawarkan saya mengajar di sekolahnya, dengan berbahagia saya menerimanya. Setelah menghadapi anak anak secara langsung dalam peran pe

Museum Dewantara

Image
Setelah selesai membaca biografi Ki Hajar Dewantara 1,5 tahun yang lalu, Taci memang ribut terus minta ke taman siswa. Bolak balik ke Jogja, ada aja yang bikin kami gagal main kesana. Nah akhirnya kali ini kami sempat juga mampir kesana. Kebetulan banget rabu minggu lalu saya baru saja ikutan kelas filsafat pendidikan nya Ki Hajar dan ketemu sama mantan murid beliau dan cicit beliau. Jadilah tema Ki Hajar ini masih hangat hangatnya di benak saya. Taman Siswa tersebut ternyata sebuah kompleks yang cukup besar, terdapat sekolah tingkat TK, SD, SMP, museum, perpustakaan, cafe dan juga pendopo. Target utama kami tentu saja ke museumnya yang merupakan bekas tempat tinggal Ki Hajar dulu. Kami beruntung karena pada saat kami datang sebenarnya museum tersebut sudah tutup, tapi karena tahu kami dari Jakarta, bapak pemegang kunci bersedia membukakan pintu untuk kami dan pemandu museumnya, Mas Drajat, juga belum pulang. Jadilah kami keliling museum dengan ditemani mereka beserta seorang p

Belajar dari Klinik Kopi

Image
Main ke Jogja kali ini akhirnya saya sempat juga mampir ke klinik kopi, setelah sekian lama ingin kesana tapi nggak kesampaian terus. Awalnya sih cukup membosankan dengan harus menunggu 2 jam sekedar untuk mendapatkan kopi. Namun ketika bertemu mas pepeng, saya baru sadar kenapa orang rela mengantri lama. Sungguh awalnya saya pikir hanya karena klinik kopi ini sudah bolak balik masuk tv, bahkan muncul di film AADC 2, maka semua orang mendadak pingin kesana. Atau setidaknya karena kopi adalah minuman yang sedang ngetrend maka banyak orang rela mengantri demi mendapat edukasi kopi dari mas pepeng ini (sejujurnya, saya termasuk tipe kedua ini 😁). Jadi baru masuk kami sudah disapa akrab dengan ditanya nama, asalnya darimana, tinggal dimana, dsb. Tidak ada raut sombong sama sekali di wajahnya. Seperti layaknya menyapa seorang kawan saja. Lalu ia bertanya pula, tau klinik kopi darimana. Pertanyaan yang menggelitik menurut saya, bukan rahasia lah kalau tempat ini sudah cukup terkenal,