Posts

Showing posts from 2019

Profesionalisme Guru

Image
          Saya lupa nama aslinya siapa, tapi saya dan teman-teman memanggilnya Pak Bandot karena penampakannya yang, maaf, seperti kambing bandot; kurus agak bungkuk dan berjanggut tipis. Beliau merupakan salah seorang guru di SMA saya dulu. Beberapa hari belakangan saat saya dan teman-teman di berbagai komunitas tengah membicarakan tentang profesi guru, entah mengapa ingatan saya melayang pada beliau dan bagaimana kelakuan kami di kelasnya.          Beliau bukan merupakan guru yang suka menghukum atau bahkan marah-marah pada muridnya, namun juga bukan guru favorit yang membuat kami ingin mendengarkan pengajarannya. Beliau hanyalah guru (berperilaku) biasa, yang hatinya baik namun bisa dibilang tidak peduli apakah kami mau belajar atau tidak. Setiap ia masuk kelas, ia akan langsung meletakkan buku-bukunya di meja dan memulai ceramahnya. Terkadang ia menggambar atau menulis di papan, namun lebih sering berdiri di tengah-tengah baris kedua, di mana saya duduk, dan berkisah panjang lebar

Menggugah Rasa Menanam Asa

Image
      OASE Eksplorasi 2019           Waktu kecil dulu, saya senang dengan momen-momen menginap di rumah saudara atau teman. Bukan semata karena bahagia bisa bermain lebih lama dengan mereka, tetapi juga karena suasana keluarga yang berbeda dari keluarga saya selalu menumbuhkan pemahaman yang baru atau cara pandang yang berbeda. Misalnya saja saya jadi tahu bahwa ada keluarga yang tidak menganggap mandi itu penting, sebaliknya ada yang menganggap mandi itu segalanya; tidak boleh sarapan kalau belum mandi, dan lain sebagainya. Berbagai perbedaan -perbedaan itu membuat saya paham bahwa manusia tidak seragam, keluarga sebagai satuan terkecil dari kebudayaan pun beragam, dan selalu ada yang bisa dipelajari dari perbedaan tersebut.           Atas dasar pengalaman tersebut, saya selalu mengidamkan pembelajaran semacam itu untuk anak-anak saya. Agar mereka tahu keragaman budaya dalam keluarga serta bisa belajar dari orangtua lain selain kami. Bersyukur sekali jika kemudian kami tergab

Memilih Untuk Tidak Memilih

Image
" Ya abis gimana, gue nggak punya pilihan lagi !" Seberapa sering kita mendengar pernyataan semacam itu? Ada kalanya memang kita berada di dalam situasi yang rasanya mau tidak mau harus kita jalani, meski rasanya hati ingin memilih pilihan lain tapi kondisi sangat tidak memungkinkan. Kita lantas bertanya-tanya, mengapa Tuhan memberi jalan semacam ini? Lalu terjebak dalam situasi yang mengasihani diri sendiri, seolah menjadi orang paling menderita di dunia. Seperti yang dialami seorang kerabat saya, sebut saja namanya Anggrek (karena nama Mawar sudah terlalu banyak disebut). Ia terjebak dalam kondisi menikah dengan seseorang yang kerap kali menjadikannya sebagai korban kekerasan. Sang suami suka menipu dan memiliki hutang di mana-mana. Seringkali pulang dalam keadaan mabuk dan kemudian memukulinya. Kami, para kerabatnya, sudah seringkali memintanya untuk keluar dari institusi pernikahan semacam itu. Mulai dari mempertemukannya dengan seorang pengacara, dukun, bahkan mencar

Kekurangan Waktu

Image
Alkisah di suatu kota yang damai, para penduduknya senang menghabiskan waktu  untuk bercengkrama dan saling memperhatikan satu sama lain. Meski tidak berlimpah materi dan hidup di kota kecil yang sederhana, namun mereka bahagia. Seringkali mereka menghabiskan senja bersama sembari memperhatikan anak-anak mereka bermain. Akan tetapi suatu hari, sekelompok pria berbaju abu-abu diam-diam mencatat segala kegiatan mereka dan kemudian mendatangi para penduduk kota satu per satu. Para pria berbaju abu-abu ini membeberkan betapa hidup penduduk kota itu sia-sia karena banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting. Definisi tidak penting yang dibeberkan oleh pria berbaju abu-abu ini adalah segala aktivitas yang tidak produktif, seperti bercengkrama dengan tetangga, merawat orang yang sakit, anak-anak bermain tanpa "konten edukatif", mendengarkan ocehan orang tua, dan lain sebagainya. Menurut para pria berbaju abu-abu ini, waktu yang hanya 24 jam sehari ini sebaiknya jangan s

Mengubah Budaya

Image
Pagi tadi, seorang kawan kami memberi kabar tentang kehamilannya yang sudah memasuki usia 16 minggu. Ia baru saja divonis tidak akan bisa melahirkan secara normal karena plasentanya menutupi jalan rahim. Kontan saja saya dan teman-teman yang sedang berkumpul saat mendengar kabar ini mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin vonis semacam itu diberikan di usia kandungan yang masih begitu dini? Mengingat masih banyaknya waktu, bukankah kemungkinan untuk si plasenta berpindah tempat itu masih ada? Atau kalaupun sebenarnya secara medis sudah tidak mungkin berubah, tidakkah seorang dokter selayaknya membesarkan hati pasiennya sembari tetap berharap pada kekuatan sugesti? Pembicaraan kami pun berlanjut tentang kasus demi kasus yang pernah kami terima sebagai objek industri kesehatan. Mudah sekali rasanya para dokter itu memberi vonis operasi atau segepok obat tanpa penegakkan diagnosa. Rasanya berbeda dengan dokter-dokter zaman dahulu yang bisa begitu telaten menghadapi pasien, menganalisa kon

Membebaskan Diri dari Sosial Media

Image
Mama saya hampir setiap hari menelepon kakak-kakaknya. Rasanya ada saja yang mereka bicarakan; mulai dari masakan, kejadian sehari-hari, masalah yang mereka hadapi, sampai rencana-rencana ke depan. Saya jadi teringat zaman SMP - SMA saya pun melakukan hal yang sama. Meski sudah bertemu di sekolah, tapi sore harinya hampir selalu berteleponan sahabat-sahabat saya hingga berjam-jam. Bersahabat jadi lebih mudah, karena saya tahu persis apa yang dirasakan sahabat saya, tidak hanya dari cerita singkatnya, tapi dari detail cerita dan nada suaranya. Saya pun demikian, setiap kali ada yang ingin diceritakan, saya pasti langsung ingin menelepon sahabat saya untuk menceritakan segala detail cerita. Manusia memang memiliki hasrat untuk berbagi cerita..namun kini alih-alih berbagi dengan sahabat, saya dan juga mungkin banyak orang lain, setiap kali memiliki cerita penting untuk dibagi, yang teringat adalah..ambil kamera, foto, dan unggah cerita di sosial media, - apapun jenisnya. Rasanya terlalu

Atas Nama Tradisi

Image
Saya menatap masygul pada serpihan kertas putih yang nyaris menutupi jalan, tanah dan bahkan saluran air di hari Lebaran. Bukan hanya di satu tempat, tapi nyaris di semua tempat yang kami lewati hari itu. Kuantitasnya saja yang berbeda; ada yang begitu banyak dan ada yang hanya beberapa saja. Kenapa ada begitu banyak sampah berserakan begini, dan siapa yang kelak akan membersihkannya , begitu pikir saya. “Oh, itu kan sisa petasan semalam. Biasa itu di desa begini.” ujar suami menjawab kebingungan saya. Memang di malam takbiran biasanya bunyi petasan berdengung di mana – mana, tidak hanya beberapa kali tapi bisa sepanjang malam. Tak heran kalau sampahnya akhirnya menjadi sebanyak itu. Bukan saja bunyinya yang mengganggu orang-orang beristirahat di malam hari, tapi kehadiran sampahnya di jalanan ini juga rasanya mengganggu aktivitas orang berlalu-lalang, orangtua atau petugas kebersihan juga pasti kerepotan membereskan semuanya ini, belum lagi membayangkan ke mana akhirnya samp

(Belum) Selesai dengan Diri Sendiri

Belakangan, saya sering sekali mendengar pernyataan ini digaungkan, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Banyak orang yang merasa belum selesai dengan dirinya sehingga kemudian merasa belum mampu untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. Pernyataan ini membuat pertanyaan sendiri dalam benak saya, "Apa sih ukuran yang membuat seseorang bisa merasa selesai dengan dirinya sendiri?" Nah, senang sekali karena ternyata masalah ini dibahas dalam diskusi filosofi CM kemarin (19/3/2019) di Ragunan. Pengalaman Masa Lalu Tidak bisa dipungkiri bahwa kita yang ada hari ini terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang terjadi di masa lalu, atau dengan kata lain, pendidikan yang kita terima. Tentunya pendidikan dalam hal ini tidak sekedar pendidikan akademis, namun juga ide-ide yang kita terima, pelatihan-pelatihan yang kita dapatkan, perlakuan orang lain terhadap kita, dan macam sebagainya. Hal-hal yang terjadi di masa lalu ini tidak bisa hilang begitu saja, ia menumpuk dan menggum

Bermain dengan Hasrat

Image
Image from fortune.com Pernah posting di sosial media dan merasa bahagia saat mendapat like? Pernah bertanya kenapa rasa bahagia itu menyergapi diri saat banyak orang menyukai postingan anda? Pernah merasa kecanduan like dan merasa perlu posting sesuatu agar dapat like? Hal ini menjadi perbincangan seru dalam diskusi filosofi CM kami hari ini. Tidak perlu membicarakan orang lain, karena nyatanya kami yang ada di dalam diskusi ini pun mengakui hal itu; bahwa rasa bahagia itu datang karena postingan banyak disukai.  Pertanyaannya adalah kenapa bisa begitu? Salahkah perasaan itu? Haruskah dikendalikan? Bagaimana mengendalikannya? Mbak Zia, anggota diskusi kami yang juga seorang psikolog, bercerita bahwa sejatinya pujian dan persetujuan dari orang lain itu memang kebutuhan dasar manusia. Kedua hal ini bagai 'makanan' untuk amygdala kita, sehingga saat kebutuhan ini terpenuhi ia akan mengeluarkan hormon oksitosin yang mengalir ke seluruh tubuh dan membuat kita bahagia. Jadi