Alasan Memilih Homeschooling - Part 2


Pemahaman Baru Tentang Arti Pendidikan



Setelah menikah, saya mengungkapkan keinginan agar anak anak kami kelak masuk sekolah mulai SD saja, dan ternyata suami sangat setuju. Jadilah sejak hamil anak pertama kami sudah sibuk mencari berbagai macam informasi mengenai teknis pendidikan anak dan juga mengenai homeschooling.

Saya sempat jadi ibu yang ingin anaknya berprestasi sejak dini. Bahkan sempat juga membuat kartu kartu bayi belajar baca saat masih hamil, dengan harapan saat anak saya lahir nanti akan segera bisa belajar membaca. Rasanya pasti membanggakan sekali kalau anak saya kelak bisa mencengangkan banyak orang dengan kemampuan yang dimilikinya sebelum anak-anak lain seusianya memilikinya. Jadilah berbagai buku anak, lagu anak, video edukatif sudah saya mulai kumpulkan sejak si kakak belum lahir. Sangat ambisius!

Pemahaman tersebut baru perlahan lahan bergeser setelah saya bertemu (di dunia maya) dengan para orangtua homeschoolers. Awalnya, saya mencari informasi mengenai homeschooling di Indonesia. Bertemulah saya dengan website keluarga Sumardiono (kalau sekarang websitenya Rumah Inspirasi) yang bercerita tentang keseharian homeschooling di keluarga mereka. Banyak hal menarik dan mencerahkan dalam tulisan tulisan Mas Aar dan Mbak Lala disana. 

Dari website tersebut juga saya tahu bahwa ada mailing list sekolahrumah. Bergabung disana ternyata menambah lebih banyak lagi referensi. Melaui percakapan percakapan mereka yang sarat akan ide baru dalam proses pelaksanaan pendidikan dan juga berbagai pemahaman pendidikan yang berbeda dari yang saya pahami sebelumnya, saya jadi sadar bahwa berprestasi sedini mungkin (seharusnya) tidak menjadi target utama dalam homeschooling. Berbagai referensi tentang pendidikan, baik dari buku, artikel, video, film, juga kerap dilontarkan dalam milis tersebut. Sebagai orang yang tengah haus akan pengetahuan tersebut, saya pun senantiasa mengikuti kemana arah referensi itu.

Saya jadi semakin paham akan apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem pendidikan yang tengah berjalan.  Benak saya terkenang pada masa-masa sekolah dulu dimana saya tak pernah menikmati proses belajar. Saya suka sekolah karena saya suka bertemu teman-teman saya, bukan karena pelajarannya. Sementara, dengan beragam teknis baru yang beragam dan menarik yang diceritakan teman-teman dalam milis itu, proses belajar jadi tampak sangat berbeda. Saya lalu berandai, sekiranya dulu saya belajar dengan cara ini, pastilah saya akan lebih menyukai proses belajar. Seandainya dulu saya belajar bukan demi ujian (eh padahal nggak belajar juga, tim nyontek dulu :D), seandainya dulu saya tahu kenapa saya harus belajar, tentu saya akan belajar dengan senang hati.

Lantas, haruskah anak-anak saya mengulangi kesalahan saya dulu? Menghadapi belajar sebagai sebuah tuntutan nilai? Berjam-jam mendengarkan guru dalam posisi duduk manis namun satu tahun kemudian apa yang didapat dari kelas menguap begitu saja? Pergi ke sekolah hanya karena semua orang pergi sekolah? Beragam pertanyaan semacam itu muncul di benak saya. Kegalauan tersebut saya ungkapkan pada suami dan ternyata ia mempunyai pendapat yang sama.

Kami akhirnya sampai pada pemahaman bahwa homeschooling bukan sekedar memindahkan sekolah ke rumah. Ini bukan soal apakah kami mampu mengajar materi TK, SD, SMP atau SMA. Sebab toh kalau hanya itu alasan kami, guru-guru di sekolah memiliki kapabilitas yang jauh lebih besar daripada kami. Justru dengan memilih homeschooling, kami harus mampu keluar dari pemahaman bahwa pendidikan hanyalah sebuah proses akademik.

Sebab nyatanya, belajar dalam homeschooling bisa ditempuh dengan beragam cara, tak melulu harus duduk membaca atau mendengarkan guru mengajar. Pun demikian dengan materinya; mengikuti subjek sekolahan atau justru mempelajari sesuatu sesuai minat, semuanya tergantung pada metode homeschooling yang dipilih. Metode - metode tersebut sangat beragam, dari yang klasik, tradisional, sampai unschooling yang tidak terstruktur sama sekali.  Pokoknya melalui milis tersebut saya jadi dibukakan mata tentang apa itu homeschooling dan kenyataan bahwa ada loh orang-orang yang secara serius memilih jalur non mainstream ini untuk pendidikan anak-anak mereka.

Saya juga sempat mengikuti sebuah seminar homeschooling saat sulung saya, Taci, berusia sekitar 1 tahun. Pembicaranya ibu Yayah Komariah dan mbak Ines Setiawan. Melalui penjelasan mereka saya jadi semakin paham, bahwa homeschooling sangat bisa dilaksanakan di usia sekolah dasar bahkan sekolah menengah atas. Pada prinsipnya orangtua tidak berperan menjadi guru, melainkan teman belajar. Soal ijazah pun bukan perkara rumit, ada banyak jalur yang bisa ditempuh, dari ujian pemerintah sampai ujian internasional. Namun yang terpenting adalah anak-anak menikmati proses belajarnya.

Melalui milis sekolahrumah juga saya tahu ada salah satu metode yang cukup menarik minat saya, namanya Charlotte Mason. Mbak Ellen Kristi, yang memperkenalkan metode tersebut pada kami, kemudian membuat mailing list tersendiri yakni Ngobrolin CM (sekarang sudah bertransformasi jadi Komunitas Charlotte Mason Indonesia). Saya tertarik pada metode CM yang berbasis pada buku-buku yang hidup (living books), meski saya belum tahu persis apa itu living books kala itu. Maka ketika saya pindah ke Semarang di tahun 2010, saya pun mengontak mbak Ellen untuk menimba ilmu tentang metode CM ini darinya.

Waktu itu saya selalu menganggap metode homeschooling yang saya terapkan adalah eklektik, atau campuran dari berbagai metode. Sebab saya belum menemukan suatu metode yang benar benar tepat dan cocok, maka saya anggap eklektik adalah yang terbaik karena bisa menyesuaikan dengan kondisi anak- anak. Namun saat itu mbak Ellen bertanya pada saya "Eklektik boleh, tapi apa filosofi dasar pendidikanmu? Apa visimu?" Ah ya, kenapa kok saya tidak pernah terpikir sampai situ ya sebelumnya. Metode yang dipilih hendaknya tergantung pada visi yang hendak dicapai, bukan sekedar asal suka dengan suatu metode tertentu. Kalaupun tenyata visi yang mau dicapai akan lebih mudah dijalani dengan gabungan dari beberapa metode (eklektik) baru tidak masalah. Tapi, tentukan dulu visinya! 

Saya pribadi percaya pada kebenaran - kebenaran universal yang ada pada alam semesta. Saya percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk merawat bumi-Nya, menjadi berguna bagi sesama, menjadi berkat bagi semesta. Maka, begitu pula lah arah pendidikan anak - anak saya akan menuju. Namun saya sadar, untuk menuju kesana saya tak bisa asal mengambil cara. Tak bisa membawa anak menuju kesana kalau hanya berproses dengan hafalan, lembar kerja dan orientasi nilai. Maka setelah merenung, berdiskusi dengan suami, kami sepakat bahwa memiliki watak luhur dengan dasar kecintaan pada Tuhan, bumi dan sesama manusia menjadi visi pendidikan kami. 

Nah, sungguh suatu kebetulan kalau ternyata metode Charlotte Mason memiliki visi pendidikan yang serupa. Percaya pada kebenaran universal dan bervisi pada magnanimous character. Enaknya, CM ini bukan hanya memiliki tujuan yang tinggi, tapi beliau sudah merumuskan tekhnis pelaksanaannya dengan begitu detail. Wah, kenapa saya harus repot repot trial and error mencoba teknik saya sendiri (lagipula siapa saya ya, modal jadi guru 1 tahun aja kok sok-sokan mau merumuskan metode sendiri :D) kalau ada metode yang cocok dengan visi kami. Maka, sejak saat itu resmi lah kami memakai CM sebagai metode homeschooling di rumah kami.

Membaca tulisan-tulisan CM ternyata (lagi-lagi) menampar kami dan membawa kami pada sebuah pemahaman baru tentang arti pendidikan. Pendidikan tidak hanya berkisar tentang teknis belajar, tapi bagaimana mendidik anak agar menjadi insan kamil, yang bukan berorientasi pada diri sendiri tapi berpihak pada kepentingan banyak orang, berlaku selaku cermin perilaku Tuhan.  Bagaimana menciptakan atmosfir pendidikan yang bisa dihirup dengan sehat, melatih kebiasaan- kebiasaan yang benar, dan senantiasa memberi makan pada jiwa mereka, adalah tugas-tugas dari orangtua sebagai pemegang amanat atas anak-anaknya. Sungguh tulisan-tulisan beliau menyadarkan kami bahwa menjadi orangtua adalah tugas yang tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan atau setengah hati.

"Wahai para ayah dan ibu, inilah pekerjaanmu dan hanya kalianlah yang dapat menunaikannya. Semuanya tergantung pada kalian, wahai  orangtua dari anak-anak belia, untuk menjadi juruselamat - juruselamat masyarakat sampai seribu generasi ke depan. Tak ada hal lain yang lebih penting. Segala macam kesibukan yang untuknya orang-orang berjerih lelah ibarat permainan sepele dibandingkan urusan serius yang satu ini : membesarkan anak - anak agar bisa menjadi lebih baik dari ketimbang kita sendiri"
(Charlotte Mason dalam buku Parents and Children; seperti dikutip dalam buku Cinta Yang Berpikir hal 15)

Seandainya kami mengetahui tentang arti pendidikan sampai sejauh ini sebelum kami memiliki anak, tentu kami akan pertimbangkan matang-matang untuk punya anak. Namun karena anak-anak sudah lahir, Tuhan sudah menitipkan mereka pada kami, maka tidak bisa tidak, tugas itu harus kami pikul dengan segenap jiwa. Pendidikan mereka ada di tangan kami, bukan sekedar untuk bisa mempelajari berbagai subjek sehingga bisa mendapat ijazah lalu bekerja dan menghasilan uang, tapi untuk memenuhi tugas dari Tuhan dan berkontribusi pada evolusi peradaban masyarakat yang lebih baik! (bersambung).



”Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.”
(Charlotte Mason dalam Home Education, diterjemahkan oleh Ellen Kristi) 


Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat