Kemampuan Membaca

Sejak sebelum menikah dan memutuskan untuk menyekolahkan di rumah anak-anak saya kelak, saya menyadari bahwa kemampuan membaca menjadi salah satu kunci penting dalam proses belajar mereka. Dalam pikiran saya waktu itu, jika anak-anak sudah bisa membaca, maka akan banyak beban yang berkurang karena mereka akan bisa membaca sendiri buku-bukunya juga berbagai informasi yang ia perlukan. Jadilah, sejak masih hamil anak pertama saya sibuk menyiapkan bahan-bahan belajar membaca untuk bayi.

Syukurlah keinginan impulsif saya itu kemudian disadarkan dengan banyak artikel-artikel Better Late Than Earlier, maupun tentang makna pendidikan yang sesungguhnya. Saat anak sudah bisa membaca di usia dini, lalu apa? Sekedar untuk kebanggaan saya kah? Agar saya dikatakan sebagai ibu hebat? Apakah kemampuan membunyikan hurufnya akan sejalan dengan keinginannya untuk memahami bacaan? Bagaimana jika kelak justru ia membaca hal-hal yang belum waktunya ia baca? Berbagai pertanyaan-pertanyaan semacam itu berkelebat di dalam benak saya, hingga saya kemudian merasa harus menyingkirkan semua kartu kartu belajar membaca dan menyimpannya rapi di gudang.


Saya menggantinya dengan buku. Ya, buku apapun juga, tidak harus buku anak-anak. Suami saya membaca keras-keras buku-buku non fiksi yang sedang dibacanya setiap malam di samping bayi kami yang baru berusia satu bulan. Di tengah hari, sambil menyusui, saya juga kerap membacakan novel yang sedang saya baca. Tidak ada harapan apa-apa. Tidak ada keinginan agar ia bisa membaca dengan cepat, hanya ingin ia terbiasa dengan buku.

Seiring berjalannya waktu, saat anak ke-2 saya lahir, dan waktu saya untuk membacakan buku pada si kakak sudah berkurang, ia seperti merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan sendiri. Jadilah ia sering bertanya pada saya "Ini huruf apa?" "P kalau digabung A, bacanya gimana" "Kalau mau nulis Nini, gimana caranya?". Saya pun menjawab sesuai dengan apa yang ia tanyakan saja. Hingga lama-lama ia mulai mengambil buku-buku tipis dan mencoba membacanya sendiri. Usia 4,5 tahun, tanpa ada pengajaran berarti dari saya, si kakak sudah lancar membaca sendiri.

Ah ya, tiba-tiba saya sadar. Membaca itu sebuah kemampuan yang harusnya datang dari diri sendiri. Tanpa adanya kemauan, membaca bisa jadi hanya sekedar membunyikan huruf tanpa paham maknanya. Merangkai huruf dan membunyikannya bukan perkara rumit, tapi membuat anak-anak menyadari bahwa membaca adalah proses penting yang perlu ia gemari, itu soal kebiasaan yang tidak bisa dibeli dengan uang berapapun jumlahnya. Sayangnya, sekarang ini banyak yang terjebak dengan kemampuan membaca sekedar sebagai kemampuan membunyikan huruf tanpa dibarengi dengan kemampuan read through the lines. Tidak heran kalau zaman sekarang, banyak yang bisa membaca tapi sedikit yang bisa memahami makna bacaan. Jangankan untuk memahami buku, memahami instruksi dalam bentuk bacaan saja banyak yang sulit mengerti.

Namun beda si kakak, beda pula si adik. Bungsu saya ini belum merasa perlu bisa membaca sampai usia 6 tahun. Setiap kali dibujuk kakaknya untuk belajar membaca ia sering menolak. "Aku lebih suka dibacakan mama" dalihnya selalu begitu. Si kakak tak kekurangan akal, karena mereka suka sekali dengan format main sekolah-sekolahan, ia kadang menyelipkan belajar mengenal huruf ke adiknya ini. Memang dalam soal mengajari membaca untuk si adik, yang lebih panik justru kakaknya.

"Adek tau nggak kenapa kakak pengeen banget adek bisa baca?" katanya suatu waktu, saya hanya menguping dan berlagak acuh tak acuh. Yang ditanya pun tak menjawab, pura-pura tidak dengar. "Soalnya, kakak itu pingin sekali punya teman yang bisa diajak ngobrol mengenai buku-buku.. Buku itu seru banget. Tapi kebanyakan teman kakak pada nggak suka baca" lanjutnya.

Saya cukup terenyuh mendengarnya. Saatnya mama turun tangan sepertinya. Saya pun membujuk si adik untuk belajar membaca. Saya pakai metode Charlotte Mason dalam mengajari membaca. Sejak pertama kali belajar membaca, bacaan harus bermakna! Tak dinyana, belajar membaca jadi proses yang menyenangkan buatnya. Ia merasa penasaran ingin tahu isi cerita dari buku yang sedang coba ia baca. Mulai dari buku tipis dengan hanya beberapa kata di tiap halamannya, sampai dengan buku-buku yang agak panjang tulisannya. Belakangan bahkan dia minta sendiri untuk mulai belajar membaca bahasa inggris, karena ingin bisa membaca buku-buku bahasa inggris.

Sejak mulai lancar membunyikan huruf, saya sering mendapatinya duduk sendiri sambil memegang buku. Setengah mati mencoba merangkainya sendiri. Kadang sambil tiduran, kadang ikut-ikutan saya membaca buku sambil menunggu, dan sebagainya. Berbagai buku tipis di rumah sudah habis dibacanya, hingga kemarin malam saya mendapatinya membaca novel kakaknya yang ukuran fontnya agak lebih besar dari ukuran font novel pada umumnya. Usianya nyaris 7 tahun, dan ia baru saja lancar membaca.

Yah, usia memang tidak bisa jadi patokan umur berapa anak harus bisa membaca. Namun saat kita percaya pada kemampuannya untuk memecahkan misteri rangkaian huruf, sambil terus memberinya contoh dan memasok pikirannya dengan beragam buku-buku berkualitas, kemampuan membaca itu akan datang dengan sendirinya. Dan saat momen itu tiba, ia akan dengan sendiri menyelaraskan kemampuannya dengan keinginannya untuk memahami bacaan.





Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2