Seberapa Penting Merefleksikan Hidup?


"Seberapa penting sih memikirkan hidup seperti apa yang mau kita jalani?"

Beberapa waktu belakangan ini pertanyaan itu sering terngiang-ngiang di dalam kepala saya. Kenapa sih harus repot-repot mikir mau memilih cara A atau cara B kalau kita sudah bisa lihat contoh dari seorang teman yang memakai cara A dan sukses? Atau, kenapa harus dipikir kalau apa yang kita jalani dalam keseharian saja sudah berat, berpikir lagi jelas memakan waktu! Toh tanpa perlu dipikir pun, hidup akan berjalan seperti biasanya. Yang penting bisa makan, bisa bekerja, bisa sekolah, kebutuhan tercukupi, punya teman, badan sehat, cukup kan?

Pikiran mengenai hal itu sempat muncul kembali saat saya melihat fenomena orang memilih baju di pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu. Biasanya saya tidak suka pergi ke mall, tapi karena didorong oleh kebutuhan, saya sekaligus menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan orang-orang di sana. Saat melihat beberapa orang memilih baju, saya bertanya-tanya apa yang ada di benak mereka, pertimbangan apa yang pada akhirnya membuat mereka memilih sesuatu? Benarkah mereka memilih di atas pilihannya sendiri, atau ada aspek lain yang membuat mereka memilih tanpa mereka menyadari apa yang mereka pilih tersebut? Saya jelas tidak tahu apa yang ada di benak para pembeli itu, tapi dari memperhatikan mereka saya mengambil kesimpulan bahwa sadar atau tidak sadar, pilihan tetap harus dibuat, dan resiko atas pilihan itu tetap harus dirasakan.

Artinya, dalam hidup ini manusia selalu memiliki banyak pilihan dan harus memilih meskipun ia tak mau memikirkan kenapa ia harus memilih sesuatu. Dan dipikirkan atau tidak, konsekuensi dari pilihan itu selalu menghadang kita. Jadi pilihannya tinggal, kita mau menyadari konsekuensi apa yang akan kita hadapi, atau kita mau membiarkan saja pilihan hidup kita dipengaruhi pihak lain sehingga manakala terjadi sebuah konsekuensi yang tidak mengenakkan, kita cukup menyalahkan pihak lain tersebut?

Sangat berkenaan dengan hal ini, kemarin saya dan teman-teman CMers Jakarta membahas bab tentang ruang lingkup kehendak yang ada di dalam buku Ourselves. Dalam paragraf pertamanya, Charlotte menegaskan bahwa meski tidak mau mempergunakan Will (kehendak) kita dengan sadar, masalah yang harus dipilih tetap ada, hanya saja yang terjadi adalah kita bukan memilih tapi membiarkan (allowing instead of choosing). Kita membiarkan saran-saran dari luar memilih untuk kita, tanpa kita sadari. 

Charlotte memberikan tiga contoh kasus dalam hal orang membeli baju (entah kenapa contohnya pas sekali dengan fenomena observasi saya sebelumnya, barangkali karena persoalan membeli sesuatu adalah contoh yang paling nyata dalam soal memilih).

Pertama, seorang laki-laki berniat membeli baju. Ia menyadari benar kelas sosial di mana ia berada, berapa uang yang ia miliki dan model apa yang cocok untuknya, maka batasan itulah yang ia pakai dalam hal memilih baju. Ia bukan orang yang pertama dalam trend, namun juga bukan yang ketinggalan trend. Cukuplah ia menyesuaikan baju yang dipilihnya dengan batasan dirinya. Lantas apakah hanya karena ia memilih untuk menyesuaikan dirinya dengan batasan-batasannya saja berarti dia tidak memilih dengan sadar? Oh tidak, di sini ia dengan rendah hati memilih sesuatu sesuai kemampuan, kelas sosial dan dirinya.

Contoh kedua, seorang laki-laki muda lainnya datang ke sebuah pertokoan dengan membanggakan diri bahwa ia orang yang punya good sense of fashion. Ia bertanya banyak hal pada pramuniaga sebelum memutuskan membeli sesuatu, hingga akhirnya sang pramuniaga menawarkannya suatu baju kekinian yang konon katanya sedang jadi trend. Dan laki-laki muda yang fashionable itu pun dengan serta merta membeli baju yang ditawarkan tersebut.  Ia mengira bahwa ia telah berhasil memilih dengan sadar, tapi sebenarnya tidak. Pramuniaga telah mengambil kesempatan dari kesombongannya, apa yang terjadi adalah sebuah pembiaran (membiarkan pihak lain memilih untuk kita) dan bukan membuat pilihan sendiri.

Pada kasus ketiga, Charlotte mencontohkan seorang laki-laki muda lainnya yang selalu mengatakan bahwa dirinya antimainstream. Alih-alih mengikuti trend yang berlangsung, ia justru suka melakukan sesuatu yang sedang tidak trend. Saat semua orang memakai baju kotak-kotak, maka ia akan memilih baju garis-garis. Ia membanggakan dirinya sebagai pemikir mandiri yang tidak mudah terpengaruh trend. Apakah lantas orang semacam ini memilih sesuatu dengan sadar? Tidak! Orang semacam ini membiarkan ego dan kesombongannya untuk memilih, alih alih memilih dengan pertimbangan matang.

"Ide yang kita ambil akan menjadi opini kita. Dengan opini tersebut kita akan melakukan suatu aksi yang akhirnya menjadi prinsip kita. Prinsip dan opini kita adalah kepribadian dan karakter kita. Semuanya adalah tanggung jawab kita dalam menjalani kehidupan." (Charlotte Mason,Ourselves pp 151)

Persoalan memilih baju ini barangkali persoalan ringan, tapi ini seperti metafora atas pilihan-pilihan besar kita yang lain. Apakah itu pilihan pendidikan, pilihan politik, pilihan cara berhubungan dengan Tuhan, ataupun pilihan-pilihan hidup lainnya. Selalu ada ide besar di balik simbol-simbol yang kita pilih. Kita perlu menganalisa dan merefleksikan dalam-dalam tentang ide apa yang mau kita pilih, dan bukan sekedar memilih karena simbolnya saja.

Metode CM merumuskan bahwa pilihan-pilihan yang diambil haruslah pilihan yang bukan berdasarkan individualitas semata. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dipilih; entah itu masyarakat, bumi, semesta ataupun Tuhan. Namun karena individualitas itu menjadi kebutuhan dasar manusia, kehendak kita (CM menyebutnya dengan 'Will') perlu dilatih untuk selalu memilih ide-ide yang besar tersebut. Untuk melatihnya, kita butuh ilmu yang luas dan rajin-rajin berefleksi. Kepandaian untuk menafikan ego demi sesuatu yang lebih besar butuh latihan dan bukan datang tiba-tiba. Refleksi adalah sarana untuk melatih kehendak agar mau mengikuti Yang Pantas Diikuti.

Maka, jika kembali pada pertanyaan saya di awal tulisan ini, rasanya jawabannya cocok sekali dengan pernyataan Socrates bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Sebab hidup ini adalah murni tanggung jawab pribadi kita pada Sang Pemilik Kehidupan.





Comments

  1. Di antara contoh pilihan (kasus baju) yg CM kemukakan di tulisan Mbak Ayu di atas, contoh pertama yg benar ya, mbak. Lalu apa yg diperlukan seseorang supaya ia selalu sadar atas batasannya? Dan batasan ini didasarkan pd apa? Makasih, Mbak Ayu refleksinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, menurut CM yg contoh pertama itu dia memilih untuk taat aja pada kelas sosial di mana ia berada. Sadar juga pada kemampuannya dan kepantasannya. Ia tidak tertarik pada trend yang diluar kemampuannya, namun juga tidak ingin menonjolkan egonya dalam berpakaian.

      Batasannya, yang selalu sama dalam kasus apapun, adalah siapa yang diikuti? Orang banyak, ego, atau ketaatan pada sesuatu yang lebih besar itu.

      Delete
  2. Allowing instead of choosing. Jadi kalo kita 'memilih' untuk mengorbankan prinsip demi kenyamanan orang lain (dan diri sendiri, alias cari aman) itu ga bisa disebut pilihan, melainkan pembiaran ya, mbak? Akhirnya kita jadi memilih untuk membiarkan, memilih diri kita disetir orang lain. Baru benar-benar sadar bahwa 'ikut arus' itu sebenarnya juga sebuah pilihan. 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di mana konsekuensi dari pilihan ikut arus itu nggak bisa kita kendalikan ya.. kalau kebetulan arusnya ke arah yg benar, kalau nggak ya hanyut kita.. 😃

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2