(Belum) Selesai dengan Diri Sendiri

Belakangan, saya sering sekali mendengar pernyataan ini digaungkan, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Banyak orang yang merasa belum selesai dengan dirinya sehingga kemudian merasa belum mampu untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. Pernyataan ini membuat pertanyaan sendiri dalam benak saya, "Apa sih ukuran yang membuat seseorang bisa merasa selesai dengan dirinya sendiri?" Nah, senang sekali karena ternyata masalah ini dibahas dalam diskusi filosofi CM kemarin (19/3/2019) di Ragunan.

Pengalaman Masa Lalu

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita yang ada hari ini terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang terjadi di masa lalu, atau dengan kata lain, pendidikan yang kita terima. Tentunya pendidikan dalam hal ini tidak sekedar pendidikan akademis, namun juga ide-ide yang kita terima, pelatihan-pelatihan yang kita dapatkan, perlakuan orang lain terhadap kita, dan macam sebagainya. Hal-hal yang terjadi di masa lalu ini tidak bisa hilang begitu saja, ia menumpuk dan menggumpal di dalam pikiran kita dan keluar sebagai sifat, perilaku, perkataan dan perbuatan kita. Dalam teori gunung es Sigmun Freud, pengalaman-pengalaman ini membangun gunung es dalam pikiran alam bawah sadar kita yang menjadi sebab dari segala perilaku kita. Alam bawah sadar ini juga tempat manusia menyimpan segala hasratnya yang barangkali tidak kentara di luar, tapi menjadi landasan perbuatan manusia. Demikian menurut Freud.

Menurut Mbak Zia, psikolog kesayangan kami dalam diskusi ini, praktik psikologi pasca Freud ini dilakukan dengan cara menggali gunung es tersebut untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi. Jadi setiap kali ada orang bermasalah datang ke psikolog, ia akan dibantu untuk mencari tahu akar permasalahannya apa, dengan tujuan agar bisa diobati. Namun, setelah praktik ini dilakukan secara bertahun-tahun, penelitian menyebutkan bahwa biasanya yang terjadi bukannya semakin terobati tapi justru malah memperdalam luka yang ada. Mengingat masa lalu, mempertanyakan mengapa harus begitu, terlalu fokus kepada penyakit itu sendiri justru membuat seseorang susah move on.

Dalam bab Kesehat-sejahteraan Jiwa di buku Philosophy of Education yang menjadi pembahasan kami kemarin, Charlotte mengungkapkan hal yang senada "Terlalu banyak introspeksi dan okupasi diri itu tidak sehat!" tegasnya. Charlotte juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap teori alam bawah sadar yang membentuk seseorang.


Sejauh ini, capaian kajian tentang pikiran bawah sadar ini tidak terlalu menjanjikan. Para psikolog seolah berusaha meyakinkan kita bahwa segala sikap dan perilaku terbaik kita sebetulnya berakar pada “komplek-kompleks” – hasrat akan kekuasaan, dorongan sensual, erotis, keserakahan. Berbagai kemungkinan tersimpan dalam diri manusia, seperti apa akalbudi harus dikembangkan supaya benih kebejatan bisa berbuah keindahan? Riset-riset psikologis amatlah menarik, dan akhirnya bisa memberi manfaat meski hanya sebatas menambah pengetahuan kita tentang sejumlah fakta mengenai akalbudi. Tapi sejauh ini riset-riset itu belum meningkatkan kinerja pendidikan. Mungkin sekali bahwa akalbudi, sama seperti tubuh, mempunyai wilayah-wilayah yang tidak tersentuh - nolime tangere (Philosophy of Education pp 167)


Menurutnya, riset mengenai alam bawah sadar ini baik untuk menambah khasanah pengetahuan kita. Namun untuk meningkatkan kesehat-sejahteraan jiwa, atau lebih kekiniannya, untuk membuat seseorang selesai dengan dirinya, benarkah gunung es ini perlu dianalisa sedemikian rupa?


Mengganti Data Lama

Praktik psikologi modern dengan penelitian-penelitian yang lebih baru kini menekankan bahwa untuk membuat seseorang keluar dari masalahnya tak perlu membongkar luka lama, begitu kata Mbak Zia. Yang perlu dilakukan hanyalah menerima masa lalu sebagai bagian dari proses pembentukan dirinya dan fokus kepada apa yang bisa orang tersebut lakukan ke depan.

Senada dengan hal itu, Charlotte selalu menekankan pentingnya 'thought-turning' atau pengalihan pikiran. Analoginya persis seperti saat kita memotret dengan Depth of Field rendah; ketika fokus diarahkan ke suatu benda, maka bagian lain akan tampak blur. Begitupun dengan pikiran manusia; ketika ia fokus kepada dirinya sendiri maka hal-hal di sekitarnya akan blur. Saat fokusnya adalah selesai dengan dirinya sendiri, maka akan sulit mencapai garis finish. Sebab, bukankah manusia tidak pernah merasa puas?

Disinilah pentingnya mengalihkan pikiran. Pendidikan CM yang bervisi untuk menciptakan pribadi magnanimous atau insan kamil, menyarankan untuk fokuslah pada hal-hal diluar diri kita, pada hal-hal yang membutuhkan uluran tangan kita, pada pelayanan dan pengabdian kepada Yang Maha Esa. Masukkanlah ide-ide hidup yang positif untuk memberi kita energi pada fokus yang kita lakukan.

"Dalam teori hipnosis juga seperti ini" seru Mbak Titin yang pernah mendalami ilmu hipnosis, "Ketika kita ingin agar data-data lama yang mengganggu di alam bawah sadar kita tidak terpakai lagi, caranya cukup hancurkan data lama itu dengan data-data baru. Data baru inilah ide-ide hidup yang harus masuk ke benak kita." lanjutnya.

Menarik sekali mendapati bahwa pernyataan yang ada di dalam buku CM ini sejalan dengan psikologi dan hipnosis.


Ukuran Belum Selesai

Jika sebenarnya data-data buruk yang lama bisa digantikan dengan data-data baru sesederhana dengan tidak fokus memikirkan itu dan memasukkan ide-ide baru yang positif, apakah semua orang pasti bisa melakukannya? Kenapa ada orang yang bisa mengalihkan pikiran dengan mudah dan ada yang tidak?

Saya dulu berpikir bahwa selesai dengan diri sendiri ukurannya setidaknya perut tidak lapar. Orang yang kelaparan akan cenderung fokus untuk memenuhi kebutuhan biologisnya terlebih dahulu. Namun, sampai sejauh mana kebutuhan biologis ini harus dipenuhi?

Saya pernah mendapat video yang sempat viral di Whatsapp, dan menyimpulkan bahwa ukuran memenuhi kebutuhan biologis cukup atau tidak cukup bisa sangat subjektif ya. Artinya, seseorang bisa selesai atau belum selesai dengan dirinya juga bisa sangat subjektif. Hidup untuk sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya sendiri atau berbuat sesuatu untuk pihak lain pada akhirnya memang jadi pilihan.




Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2