Atas Nama Tradisi
Saya menatap masygul
pada serpihan kertas putih yang nyaris menutupi jalan, tanah dan
bahkan saluran air di hari Lebaran. Bukan hanya di satu tempat, tapi
nyaris di semua tempat yang kami lewati hari itu. Kuantitasnya saja
yang berbeda; ada yang begitu banyak dan ada yang hanya beberapa
saja. Kenapa ada begitu banyak sampah berserakan begini, dan siapa
yang kelak akan membersihkannya, begitu pikir saya.
“Oh, itu kan sisa
petasan semalam. Biasa itu di desa begini.” ujar suami menjawab
kebingungan saya.
Memang di malam takbiran biasanya bunyi petasan berdengung di mana – mana, tidak hanya beberapa kali tapi bisa sepanjang malam. Tak heran kalau sampahnya akhirnya menjadi sebanyak itu. Bukan saja bunyinya yang mengganggu orang-orang beristirahat di malam hari, tapi kehadiran sampahnya di jalanan ini juga rasanya mengganggu aktivitas orang berlalu-lalang, orangtua atau petugas kebersihan juga pasti kerepotan membereskan semuanya ini, belum lagi membayangkan ke mana akhirnya sampah – sampah ini pergi.
Memang di malam takbiran biasanya bunyi petasan berdengung di mana – mana, tidak hanya beberapa kali tapi bisa sepanjang malam. Tak heran kalau sampahnya akhirnya menjadi sebanyak itu. Bukan saja bunyinya yang mengganggu orang-orang beristirahat di malam hari, tapi kehadiran sampahnya di jalanan ini juga rasanya mengganggu aktivitas orang berlalu-lalang, orangtua atau petugas kebersihan juga pasti kerepotan membereskan semuanya ini, belum lagi membayangkan ke mana akhirnya sampah – sampah ini pergi.
Namun bukan hanya
sampah yang menjadi pikiran saya, tetapi kenapa harus ada petasan
yang diledakkan secara bertubi-tubi di malam takbiran (atau malam
tahun baru, atau malam-malam perayaan lainnya). Ini bukan fenomena
baru memang, sejak saya kecil juga rasanya bunyi petasan dalam
perayaan-perayaan ini sudah ada. Petasan sudah menjadi tradisi bagi
anak-anak kecil (dan orang dewasa) dalam merayakan sesuatu.
Barangkali karena adanya ledakan cahaya di malam yang gelap, ditambah
dengan riuhnya bunyi yang mampu menyemarakkan suasana maka tradisi
petasan ini bisa berlangsung selama beberapa generasi.
Akan tetapi, tidak adakah cara lain untuk menyemarakkan suasana tanpa petasan? Atau haruskah kita mengikuti tradisi yang sudah ada tanpa menghiraukan dampaknya pada pihak lain atau bahkan pada diri kita sendiri?
Akan tetapi, tidak adakah cara lain untuk menyemarakkan suasana tanpa petasan? Atau haruskah kita mengikuti tradisi yang sudah ada tanpa menghiraukan dampaknya pada pihak lain atau bahkan pada diri kita sendiri?
Perilaku Sesuai
Tradisi
Manusia, selaku
makhluk sosial, memang menjalani hidup berdasarkan tradisi. Bukan
hanya petasan, tapi juga segala sesuatu yang kita lakukan seperti
cara makan, cara bergaul, cara berpakaian, cara merayakan sesuatu,
cara beribadah, dan lainnya. Menurut wikipedia, tradisi adalah
sesuatu yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat. Tradisi bukan suatu kata yang memiliki
muatan positif maupun negatif, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa kita
hidup berdasarkan tradisi yang dibentuk oleh orangtua dan masyarakat
kita. Anak-anak bertumbuh dengan mengikuti apa yang dilakukan
orangtuanya, dan bahkan orang dewasa melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dilakukan orang di sekitarnya.
Tradisi memang
tampaknya tak terelakkan. Manusia memiliki hasrat berkelompok, dan
agar bisa menjadi bagian dari suatu kelompok, harus ada suatu prilaku yang dilakukan agar sama dengan tradisi orang-orang dalam kelompok tersebut.
Hal-hal ini terjadi di luar kesadaran sehingga kita kerap kali
melakukan sesuatu semata karena kelompok kita, atau masyarakat kita,
melakukannya tanpa kita ketahui dari mana asal muasalnya perilaku ini
dan apa dampak dari perilaku seperti itu.
Yuval Noah Harari,
dalam bukunya Homo Deus halaman 67, menyatakan bahwa kita
kerap kali melakukan sesuatu begitu saja seolah olah hal itu wajar,
tidak terhindarkan dan akan selamanya seperti itu. Kita lupa bahwa
dunia yang kita jalani hari ini diciptakan oleh rangkaian peristiwa
di masa lalu; dan bahwa sejarah tidak hanya membentuk teknologi,
politik, budaya namun juga pola pikir kita, ketakutan kita dan impian
kita. Apa yang kita jalani hari ini bukan sesuatu yang terjadi secara
natural, selalu ada sejarahnya kenapa bisa terjadi demikian. Bukan
juga akan terjadi selamanya, karena pada titik tertentu orang-orang
akan menemukan cara melakukan sesuatu yang lebih baru, lebih baik
atau lebih sesuai. Segala sesuatu ada ajalnya, begitu pula dengan
tradisi.
Mendobrak Tradisi
Tradisi yang kita
lakukan tidak semuanya baik atau sesuai dengan kebutuhan kita.
Adakalanya tradisi-tradisi yang kita jalani ini sebenarnya sia-sia
atau bahkan memiliki dampak buruk pada orang lain atau pada bumi
tempat kita berpijak. Tradisi perploncoan junior oleh para senior
misalnya, mungkin dilakukan semata-mata karena sang senior menerima
perlakuan tersebut kala ia masih menjadi junior. Namun karena manusia
pada umumnya memiliki hasrat ingin melakukan sesuatu yang lebih,
akhirnya dari generasi ke generasi tradisi perploncoan menjadi
semakin kejam, karena setiap pelaku memiliki pola pikir “Dia harus
lebih tersiksa dibanding saya dulu”. Tak heran kalau tradisi
perploncoan ini akhirnya bisa menyebabkan kematian.
Masalahnya, kita seringkali melakukan tradisi demi tradisi tanpa kesadaran penuh; tanpa mengetahui apa sebenarnya manfaat dari tradisi yang kita jalani ini, dan tanpa berpikir panjang tentang adakah cara lain yang lebih baik dalam melakukan suatu hal di luar tradisi yang ada. Harari mengatakan salah satu syarat penting agar kita sadar akan hal-hal yang kita lakukan adalah dengan mempelajari sejarah; asal muasal tradisi itu berlangsung. Dengan memahami sejarah kita bisa melonggarkan diri kita dari cengkraman tradisi agar kita menyadari langkah kita dan mampu memiliki opsi-opsi yang lebih baik dalam melangkah.
Masalahnya, kita seringkali melakukan tradisi demi tradisi tanpa kesadaran penuh; tanpa mengetahui apa sebenarnya manfaat dari tradisi yang kita jalani ini, dan tanpa berpikir panjang tentang adakah cara lain yang lebih baik dalam melakukan suatu hal di luar tradisi yang ada. Harari mengatakan salah satu syarat penting agar kita sadar akan hal-hal yang kita lakukan adalah dengan mempelajari sejarah; asal muasal tradisi itu berlangsung. Dengan memahami sejarah kita bisa melonggarkan diri kita dari cengkraman tradisi agar kita menyadari langkah kita dan mampu memiliki opsi-opsi yang lebih baik dalam melangkah.
Namun, kalaupun kita
tahu bahwa tradisi yang kita lakukan ini kurang baik dan ada cara
lain yang lebih baik, seberapa berani kita melakukan sesuatu yang
berbeda, yang tidak sama dengan tradisi yang dilakukan di masyarakat
kita?
Kenyataannya menjadi
berbeda memang tidak mudah. Selalu ada konsekuensi di baliknya, mulai
dari tatapan sinis, ocehan nyinyir, sindiran di sosial media, atau
bahkan tindakan-tindakan represif. Saat ada seorang anak yang
mendadak tidak mau ikutan main petasan di malam tahun baru misalnya,
minimal teman-temannya akan menganggapnya nggak asik lagi
karena ia memutuskan untuk berperilaku yang berbeda dari tradisi di
kelompok anak-anak tersebut. Namun, akankah seorang anak kecil, usia
awal sekolah dasar misalnya, siap dikucilkan sementara oleh
teman-temannya karena ia tidak mau main petasan lagi?
Jika ternyata ada
lebih dari satu anak yang memutuskan tidak mau lagi bermain petasan,
barangkali permasalahannya akan lebih mudah. Mereka bisa membentuk
kelompok tersendiri sebagai kelompok anti petasan, walau jumlahnya
mungkin tidak sebanyak kelompok pemain petasan namun setidaknya
dikucilkan bersama teman lainnya lebih tidak menakutkan dibanding
dikucilkan sendirian. Siapa tahu, kelompok anti petasan ini nantinya
bisa semakin membesar hingga akhirnya berhasil mengganti tradisi
bermain petasan dengan permainan lain yang lebih mengasyikkan tanpa
dampak buruk.
Akan tetapi semudah
itukah? Tentu tidak, semakin besar kelompok, semakin besar pula
tantangannya. Bisa jadi, kelompok ini akan diancam oleh para penjual
petasan atau bahkan produsen petasan yang merasa dirugikan kalau
tradisi petasan itu hilang. Persoalannya kembali kepada, seberapa
berani dan seberapa konsisten kelompok ini menyuarakan tidak perlunya
bermain petasan terlepas dari halangan yang merintangi perjuangan
mereka?
Mendobrak tradisi,
sendiri ataupun berkelompok, memang sulit. Jauh lebih mudah mengikuti
saja tradisi yang sudah ada daripada menerima konsekuensi menjadi
berbeda dari tradisi. Namun tanpa adanya sekelompok manusia yang
berani mendobrak tradisi dan menghadapi tantangannya, mungkinkah
kehidupan di bumi ini mampu berjalan maju dan membaik?
Artikel ini bikin mikir tradisi apa yg tanpa sadar saya lakukan dan dampaknya tdk disadari ...Matur Nuwun for this gentle reminderđź–’
ReplyDelete