Membebaskan Diri dari Sosial Media

Mama saya hampir setiap hari menelepon kakak-kakaknya. Rasanya ada saja yang mereka bicarakan; mulai dari masakan, kejadian sehari-hari, masalah yang mereka hadapi, sampai rencana-rencana ke depan. Saya jadi teringat zaman SMP - SMA saya pun melakukan hal yang sama. Meski sudah bertemu di sekolah, tapi sore harinya hampir selalu berteleponan sahabat-sahabat saya hingga berjam-jam. Bersahabat jadi lebih mudah, karena saya tahu persis apa yang dirasakan sahabat saya, tidak hanya dari cerita singkatnya, tapi dari detail cerita dan nada suaranya. Saya pun demikian, setiap kali ada yang ingin diceritakan, saya pasti langsung ingin menelepon sahabat saya untuk menceritakan segala detail cerita.

Manusia memang memiliki hasrat untuk berbagi cerita..namun kini alih-alih berbagi dengan sahabat, saya dan juga mungkin banyak orang lain, setiap kali memiliki cerita penting untuk dibagi, yang teringat adalah..ambil kamera, foto, dan unggah cerita di sosial media, - apapun jenisnya. Rasanya terlalu sayang jika tidak membagi pengalaman penting ini dengan teman maupun followers di sosial media, sebab kita pikir barangkali mereka mampu mengambil manfaat dari cerita kita. Jika ada kesalahan, agar mereka tidak melakukan hal serupa. Jika ada kesuksesan, barangkali juga ada yang terinspirasi untuk meniru. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, aktivitas semacam ini kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Alih-alih langsung teringat menelepon sahabat saat ingin berbagi cerita, kita langsung teringat sosial media.

Adakah sosial media telah menggantikan peran sahabat dalam hidup kita?

-------



Dua bulan yang lalu, karena sedang merasa jenuh dengan sosial media, saya memutuskan untuk menghindar. Bak orang pacaran, rasanya hubungan saya dan sosial media sudah terlalu akrab sehingga perlu menjauh sebentar untuk merefleksikan hubungan kami (eaaa!). Selama sebulan saya tidak mengakses sosial media sama sekali. Dalam kekosongan itu saya mencoba menelaah kembali apa sebenarnya peran sosial media dalam hidup saya.

Hari-hari pertama tanpa sosmed rasanya aneh. Membuka sosial media dan menelusuri informasi di dalamnya sudah seperti menjadi reflek otomatis saya jika saya membuka ponsel. Seorang konsultan produktivitas dan penulis buku asal Kanada, Chris Bailey, menyebut kegiatan ini sebagai sebuah kegiatan autopilot. Dalam bukunya Hyperfocus, ia menjelaskan bahwa saat kita bosan, tidak tahu mau melakukan apa, atau ada dorongan untuk mencari tahu informasi-informasi kecil dari dunia maya, tubuh kita secara autopilot mengambil telepon seluler dan menelusurinya. Kegiatan ini dilakukan di luar kesadaran penuh kita, sebab otak kita sudah kecanduan dengan informasi-informasi kecil ini. Bahkan tubuh kita memberikan reward berupa produksi hormon dopamine saat kita melakukan kegiatan autopilot yang menyenangkan hati kita.

Terkadang, sama seperti makan kacang gurih, mengakses sosial media seperti tak ada habisnya. Informasi-informasi ini begitu asyik dikunyah dan tubuh kita pun merasakan sensasi bahagia karenanya, jadilah susah berhenti. Masalahnya, menurut Bailey, kegiatan ini berdampak pada kemampuan kita untuk memusatkan perhatian dan mendistraksi kemampuan kita untuk menyusun prioritas kegiatan. Akibatnya, banyak pekerjaan terbengkalai, susah fokus, sering lupa, dan macam sebagainya.

Jika dianalogikan seperti makanan, kebanyakan nyemil membuat kita tak lagi berminat pada makanan utama yang lebih bergizi dan menumbuhkan. Kita merasa kenyang, tapi efek jangka panjangnya akan banyak penyakit yang menimpa akibat kurang gizi. Kalau sakit fisik memang mudah dilihat, namun penyakit kejiwaan seringkali tidak disadari. Mudah marah, mudah berprasangka, cepat sedih, sulit memusatkan perhatian, dan berbagai gejala lainnya yang sebenarnya merupakan efek dari stimulasi berlebihan dari makanan yang kurang bergizi.

Akan tetapi menghentikan tubuh memproduksi dopamine dari suatu kegiatan yang menyenangkan ini bukan hal mudah. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka ketika tidak dilakukan otak akan mendorong tubuh untuk melakukannya lagi agar dopamine bisa diproduksi. Sakau. Namun ini bukan hal yang sulit sebenarnya jika kita sudah memiliki niat yang kuat dan kegiatan pengalih yang mampu mengalihkan kesakauan. Saat saya menghindar dari sosial media itu, saya mengalihkannya dengan membuka ebook saat saya memegang ponsel, jadi urusan sakau karena tidak membuka sosmed bisa tertangani.

------

Dua - tiga minggu berlalu tanpa sosial media, saya merindukan informasi mengenai teman-teman saya yang tidak saya temui dalam keseharian saya kala itu. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa ya kita tidak berbagi cerita di ruang yang lebih personal. Padahal dalam ruang personal kita bisa bercerita dengan lebih bebas tanpa adanya citra yang perlu dipertahankan. Apakah respon dari seorang sahabat kalah bermakna dengan ratusan like? Apakah semakin banyak yang tahu tentang cerita kita berarti lebih baik?

Memang melalui sosial media, saya memang jadi memiliki banyak teman, melintasi ruang harian yang biasa saya jalani. Namun, sebenarnya seberapa jauh saya mampu hadir dalam kehidupan mereka dan mereka hadir dalam kehidupan saya? Bisakah kami saling membantu secara nyata ketika salah satu dari kami mengalami kesulitan? Bukan sekedar bantuan fisik, namun juga kawan jiwa yang selalu ada, seperti bagaimana saya memilikinya saat sekolah dulu.

Sosial media membantu saya juga untuk mengetahui kegiatan-kegiatan  serta pemikiran - pemikiran teman-teman baru dan sahabat-sahabat lama saya; dengannya saya jadi merasa dekat dengan mereka. Namun rasanya tidak lebih dari itu. Sosial media bahkan juga berhasil merebut kebersamaan kami saat kami bertemu di dunia nyata. Alih-alih fokus bercengkrama dengan akrab, seringkali kita tetap merasa ingin mengecek sosial media saat sedang bersama para sahabat, serta tak lupa mengambil gambar kebersamaan untuk kemudian mengunggahnya di sosial media. Esensi berkumpul perlahan seperti tergantikan, bukan untuk merasakan kebersamaan tapi untuk diunggah ke sosial media.

Adakah ramalan Yuval Noah Harari bahwa suatu saat bukan hanya pekerjaan yang akan tergantikan dengan robot, namun juga sahabat?

------



Chamath Palihapitaya, mantan Vice President of User Growth di Facebook menyatakan penyesalannya di depan mahasiswa-mahasiswa Stanford pada akhir tahun 2018.  “Loop umpan balik jangka pendek yang digerakkan dopamin yang kami buat telah menghancurkan sistem sosial kemasyarakatan” (baca lengkapnya di sini)

"Sosial media secara harfiah telah mengubah hubungan sosial kita" kata Sean Parker, salah satu founding president di Facebook pada sebuah kegiatan di Philadelphia di 2018. Sementara Kevin Holesh, kreator Momentapp, menyatakan bahwa sosial media memang tidak didisain untuk kebahagiaan jangka panjang namun untuk meminta atensi kita sebanyak mungkin untuk saat ini.

Pun bukan berarti saya menafikan peran sosial media sebagai media penyampaian pesan kepada khalayak ramai. Sebagai lulusan komunikasi massa, saya menyadari betul pentingnya sosial media dalam proses komunikasi; terutama bagi mereka yang memiliki misi seperti berjualan, menghimpun massa, personal branding, dan lainnya. Bagi individu seperti saya, sosial media juga sangat bermanfaat untuk mendapatkan informasi serta pertemanan, namun manakala penggunaannya sudah melebihi dari batas seharusnya dan memberikan gejala-gejala yang merugikan, barangkali kita perlu merefleksikannya lagi.

Atensi kita, kata Bailey, memiliki batasan. Saat kita menyerahkan atensi kita pada kegiatan autopilot dan kehilangan kontrol atasnya, di situlah segala kerugian kita bermula. Sebab atensi yang baik, kemampuan untuk fokus pada sesuatu, adalah kunci produktivitas. Jadi tak heran kalau pada era milenial ini manusia sering merasa kekurangan waktu padahal teknologi telah banyak membantu pekerjaan kita, sementara pada beberapa dekade lalu di mana banyak hal masih dilakukan secara manual, manusia justru memiliki lebih banyak waktu.

Sekali lagi, sosial media memang memiliki banyak keuntungan. Namun, apakah kita yang mengendalikan (dengan membuka sosial media tidak dalam mode autopilot) atau sosial media yang mengendalikan kita?




Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2