Menggugah Rasa Menanam Asa

     
OASE Eksplorasi 2019

          Waktu kecil dulu, saya senang dengan momen-momen menginap di rumah saudara atau teman. Bukan semata karena bahagia bisa bermain lebih lama dengan mereka, tetapi juga karena suasana keluarga yang berbeda dari keluarga saya selalu menumbuhkan pemahaman yang baru atau cara pandang yang berbeda. Misalnya saja saya jadi tahu bahwa ada keluarga yang tidak menganggap mandi itu penting, sebaliknya ada yang menganggap mandi itu segalanya; tidak boleh sarapan kalau belum mandi, dan lain sebagainya. Berbagai perbedaan -perbedaan itu membuat saya paham bahwa manusia tidak seragam, keluarga sebagai satuan terkecil dari kebudayaan pun beragam, dan selalu ada yang bisa dipelajari dari perbedaan tersebut.

          Atas dasar pengalaman tersebut, saya selalu mengidamkan pembelajaran semacam itu untuk anak-anak saya. Agar mereka tahu keragaman budaya dalam keluarga serta bisa belajar dari orangtua lain selain kami. Bersyukur sekali jika kemudian kami tergabung dalam sebuah komunitas keluarga homeschooling yang kerap kali merancang program semacam ini dengan tajuk Oase Eksplorasi, di mana anak-anak dikirim ke suatu daerah baru selama rentang waktu tertentu dan kemudian mempelajari berbagai hal dari keluarga-keluarga di daerah tersebut.

          Setelah sering mupeng dengan kegiatan Eksplorasi ini di tahun-tahun yang lalu, akhirnya tahun ini sulung saya memasuki usia minimal bisa mengikuti Eksplorasi. Sebab Klub Oase merupakan sebuah komunitas keluarga, di mana setiap keluarga yang tergabung di dalamnya harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan komunitas, maka mentor dan pengelola kegiatan anak pun berasal dari para orangtua yang ada. Awal term ini, dalam rapat penyusunan program, saya pun ditodong jadi Mentor Eksplorasi. Berhubung waktu penodongan kala itu terjadi di jam 2 pagi, maka dengan nyawa yang tinggal seperempat saya pun menyanggupinya. Namun setelah dipikir-pikir saat sadar, sebenarnya banyak sekali hal yang saya bisa pelajari dari tugas ini. Selain bisa mewujudkan mimpi saya menyusun pembelajaran untuk anak dengan proses menginap di keluarga lain, juga bisa belajar mengorganisir kegiatan dengan rapi dari kakak-kakak mentor yang sudah lebih berpengalaman.

Tim Mentor


Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

         Setelah beberapa kali rapat dengan para mentor, kami pun sepakat untuk menyusun kegiatan sederhana bagi para Eksplorer baru ini. Tidak perlu membebani mereka dengan output yang banyak, cukup mengajak mereka merasakan kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan mereka sehari-hari saja rasanya sudah akan banyak menelurkan perenungan bagi mereka. Pe-er para mentor tinggal di mana mencari lokasi yang tepat untuk adik-adik ini mengeksplorasi kehidupan yang berbeda tersebut.

         Adalah suatu kebetulan yang indah jika kemudian kami bertemu dengan Abah Apep dan Ambu Yoan, orangtua homeschoolers yang baru saja memilih untuk meninggalkan kenyamanan hidup di kota untuk kembali ke desa demi menjalani kehidupan yang lebih bersahaja. Mereka tinggal di Dusun Sukajadi yang terletak di Ciamis, perbatasan Tasikmalaya. Dengan tanah yang sangat luas, mereka kemudian membangun saung yang kelak jadi rumah mereka di sana. Mereka menamakan lokasi mereka ini sebagai Kampung Zuhud. Cita-citanya mereka ingin membangun sebuah pusat kegiatan belajar alami untuk anak-anak mereka, warga desa, dan juga siapapun yang ingin berkunjung ke sana. Namun, belum juga Kampung Zuhud itu sepenuhnya terbangun, kami sudah memohon agar tempat tersebut bisa menjadi destinasi Eksplorasi kali ini. Gayung bersambut, Abah dan Ambu membuka tangannya lebar-lebar, mempersilahkan kami mengacak-acak tempatnya dan membantu pelaksanaan Eksplorasi ini sepenuhnya.

Berkenalan dengan Nek, ibu Abah Apep, yang begitu totalitas membantu kelancaran Eksplorasi.


       Kampung Zuhud dikelilingi dengan rumah-rumah penduduk lokal yang masih menganut pola hidup tradisional dengan nilai-nilai adat yang masih dipegang erat. Bersyukur sekali para penduduk ini juga kemudian bersedia dititipi anak-anak yang hendak menginap untuk belajar dari mereka. Dengan tangan terbuka, mereka mempersilahkan adik-adik penggalang untuk bermalam di rumah mereka dan belajar dari keseharian mereka. Selama 5 hari 4 malam, mereka mengajak adik-adik penggalang ini untuk mengikuti mereka bekerja, mengajarkan kebiasaan mereka, bercerita tentang beragam hal dan mencurahkan kasih sayang selayaknya anak mereka sendiri.

        Sementara untuk kegiatan komunalnya, Abah Apep dan Ambu Yoan mengajak adik-adik penggalang untuk menanam ikan di balong, bermain di sungai, menanam pohon, membedah kolam, dan lain sebagainya. Di hari terakhir bahkan mereka merancang sebuah malam perpisahan dengan api unggun dan panggung yang ciamik demi menutup rangkaian keseharian kami di sana. Namun yang terbaik adalah karena mereka tidak membuat seluruh rangkaian persiapan dan kegiatan ini sebagai sesuatu yang komersil, sehingga atmosfer penuh cinta ini terhirup sekali selama keberadaan kami di sana.

Mandi di sungai! Super Fun!


Peserta Eksplorasi beserta Kepala Desa, Kepala Dusun dan Abah Apep.


Tut Wuri Handayani

        Selama Eksplorasi ini berlangsung, kami para mentor sepakat untuk mengambil jarak dengan adik-adik penggalang. Dengan tujuan agar mereka semakin banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Kami hanya mengajak mereka briefing pagi-pagi sekali selama tak lebih dari 30 menit, dan mengevaluasi kegiatan di malam hari - juga tak lebih dari 30 menit. Selebihnya kami memberi kepercayaan pada mereka untuk berkegiatan, menemukan masalah dan mencari solusinya sendiri. Konon katanya, metode semacam ini disebut Tut Wuri Handayani.

        Sebagai orang dewasa yang merasa lebih banyak pengalaman, sebenarnya gatal juga rasanya ingin ikutan mengatur atau memberi solusi. Namun di sini kami belajar banyak untuk tutup mulut dan memberi mereka ruang untuk bergerak sendiri. Dari yang resah karena kamar mandi tidak ada pintunya, bimbang ingin melompat ke sungai dari ketinggian 7 meter atau tidak, bingung bagaimana membawa sekian banyak barang tapi tidak ada tas, kelupaan meletakkan kotak nasi di mana, dan lain sebagainya.

         Nyatanya tanpa dibantu solusi mereka mampu menyelesaikannya sendiri. Seperti kata Pak Edi, Kepala Dusun Sukajadi yang kebetulan menjadi salah satu keluarga inang, bahwa mengenal dunia luar memang memberi ruang pada kemandirian. Berada di luar kenyamanan dan kehangatan yang biasa diberikan oleh orangtua memaksa mereka untuk berpikir sendiri. Dan kemandirian ini akhirnya meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan berkomunikasi juga, sebab terkadang solusinya hanyalah deal with it - terima saja kondisinya atau cari solusinya dengan cara berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait.

Sesi arahan dan evaluasi yang dilakukan per kelompok


Zero Waste, Zero Complaint 

         Seperti juga kegiatan - kegiatan di Klub Oase lainnya, semangat Zero Waste kembali diusung dalam Eksplorasi kali ini. Menjadi tantangan tersendiri untuk merencanakan perjalanan dan mengemas perbekalan agar bebas sampah. Sebab rencana memang jadi kata kunci dari sebuah perjalanan bebas sampah. Adik-adik penggalang harus belajar memikirkan apa yang hendak mereka makan dan seberapa banyak kotak makan yang mereka bawa, mengemas peralatan mandi, obat-obatan dan beragam lainnya agar sesedikit mungkin menyisakan sampah.

          Tantangan lain adalah untuk tidak asal jajan. Warung, minimarket, jajanan di kereta, semua harus dilambaikan tangan sebab hampir semuanya mengandung sampah plastik yang akan memberatkan bawaan mereka. Kesepakatannya adalah jika sampai ada sampah non organik yang dihasilkan, mereka harus membawanya pulang kembali. Jadi meski minuman manis di botol itu menggoda, snack-snack kemasan itu menggiurkan, mereka harus menahan diri untuk tidak membelinya. Bahkan untuk oleh-oleh sekalipun mereka harus membawa kotak tersendiri dan pergi ke pabrik pembuatannya untuk mendapatkan buah tangan tanpa kemasan.

          Repot? Pastinya! Tapi kami percaya bahwa dari hal-hal kecil semacam ini mereka belajar untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang besar. Ribuan langkah selalu dimulai dari satu langkah kecil. Belajar menahan diri dari keinginan impulsif demi terciptanya lingkungan yang lebih sehat. Mengutip kata Kak Andit, salah satu Mentor Eksplorasi kali ini, berpikir makan gajah barangkali rumit, namun jika kita fokus pada langkah demi langkah yang harus dilakukan, segalanya akan lebih mudah. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.

Mau jajan ya setor tempat makan!


         Komitmen lain dalam perjalanan kali ini adalah Zero Complaint. Apapun yang terjadi ya harus dihadapi; mengeluh hanya akan memperberat keadaan. Jadilah meski musim kering sedang melanda Dusun Sukajadi; adik-adik penggalang ini harus mengangkut air atau berjalan sekian meter untuk mandi, jalanan yang naik turun lembah, kendaraan yang tidak nyaman, mendadak hujan angin memporak porandakan acara dan perlengkapan mereka, sendal penuh tanah yang sudah laksana wedges, mata kemasukan lumpur, demam, kaki kram dan lain sebagainya, - mereka tidak boleh mengeluarkan keluhan.

          "Perjalanan kita ini zero complaint kan?" begitu mereka saling mengingatkan ketika ada teman mereka yang terdengar mengeluh.

         Menghadapi ketidakpastian itu memang berat; keputusan terkadang harus diambil cepat dengan siap menanggung segala resikonya kelak. Tapi mereka mengaku kadang ya tidak ada pilihan lain selain dijalani saja dan siap dengan resikonya. Takut pasti; seperti saat mereka merasa takut untuk lompat ke sungai dari ketinggian 7 meter. Namun seperti kata Kak Raken, juga salah seorang Mentor Eksplorasi, ketika takut tidak menjadi ketakutan, rasa itu baik untuk menguji keberanian.

Wajah-wajah bahagia meski sempit-sempitan dan berdiri di mobil bak selama 1 jam dan medan meliuk-liuk.


Tangkap ikan dan mandi lumpur.

Yang Terbesar Adalah Yang Melayani

          Ada satu kesamaan kebiasaan warga di desa-desa yang pernah saya tinggali atau sekedar singgahi; kebiasaan yang juga saya temukan di Dusun Sukajadi ini, yakni kebiasaan melayani. Dulu saat tinggal di Wonogiri, saya sering merasa malu sendiri betapa tetangga-tetangga saya begitu ringan tangannya. Mereka saling memberi dengan begitu mudahnya, saling membantu jika ada kesulitan dan bergotong royong dalam mengerjakan banyak hal. Rupanya budaya gotong royong yang dulu saya dengar di pelajaran PMP saat sekolah itu bukan kisah fiksi. Agaknya tumbuh besar dalam kehidupan  kota yang serba individualis membuat saya awalnya menganggap gotong royong hanya sebagai slogan saja.

         Di desa, setiap tamu yang datang akan diperlakukan bak raja. Dijamu sebaik-baiknya, bahkan kalau perlu berhutang demi melayani tamu. Mereka senang melayani tamu yang datang. Menjadi tantangan tersendiri bagi kedua belah pihak manakala warga desa yang terbiasa melayani kedatangan tamu anak kota yang biasa dilayani. Keduanya harus berjuang untuk keluar dari kebiasannya masing-masing.

          "Aku sudah bilang mau mengisi air, eh tapi ibunya itu malah bilang nggak usah" lapor seorang adik penggalang pada mentor.

          Saya pun bercerita bahwa warga desa biasanya merasa bahagia karena bisa melayani, untuk itu adik-adik harus belajar dari semangat melayani mereka. Memang dilayani terkesan lebih enak karena menjadi pihak yang menerima kesenangan, namun sebenarnya ada proses pengikisan ego yang begitu besar dari proses melayani. Dari melayani kita belajar berempati bahwa hidup bukan semata demi mengejar kesenangan pribadi semata. Bahkan ada sebuah ayat yang mengatakan bahwa barangsiapa ingin menjadi besar maka hendaklah ia menjadi yang paling melayani.

          Eksplorasi kali ini memang dilakukan tanpa tuntutan output selain sekedar jurnal refleksi perjalanan. Namun bagaimana adik-adik penggalang ini menghayati perannya selama di sana, merasakan hangatnya kasih sayang warga, terusik kenyamanan dan kemudahan hidupnya; justru menjadi bagian penting dari perjalanan ini. Yah, tujuan perjalanan kali ini hanya mencoba menggugah rasa untuk mengubah cara pandang mereka melihat kehidupan. Agar tertanam asa untuk masa depan kehidupan sosial masyarakat yang lebih hangat dan harmonis alih alih kehidupan yang individualis dan matrealis.

          Belajar memang bukan semata fakta tapi butuh ide yang salah satunya berasal dari contoh nyata. Kalau ide sudah tertanam, mari imani saja bahwa kelak bibit baik yang sudah ditanam ini akan tumbuh menjadi tanaman yang baik pula.













Comments

  1. Keren sangat tulisannya kak. Saluut 😊🙌🙌

    ReplyDelete
  2. Mba Ayu.. seperti biasa refleksi nya keren bingit.. menggugah dan mencerahkan pembacanya, ikut hanyut dan seolah ikut serta didalamnya.. bikin mupeng.. terima kasih yaa..

    ReplyDelete
  3. Ayu, tulisannya dalem banget. Makasih ya yuuu :-) beruntung anakku ikutan Eksplorasi tahun ini. mentornya cadassss

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2