Profesionalisme Guru

          Saya lupa nama aslinya siapa, tapi saya dan teman-teman memanggilnya Pak Bandot karena penampakannya yang, maaf, seperti kambing bandot; kurus agak bungkuk dan berjanggut tipis. Beliau merupakan salah seorang guru di SMA saya dulu. Beberapa hari belakangan saat saya dan teman-teman di berbagai komunitas tengah membicarakan tentang profesi guru, entah mengapa ingatan saya melayang pada beliau dan bagaimana kelakuan kami di kelasnya.
         Beliau bukan merupakan guru yang suka menghukum atau bahkan marah-marah pada muridnya, namun juga bukan guru favorit yang membuat kami ingin mendengarkan pengajarannya. Beliau hanyalah guru (berperilaku) biasa, yang hatinya baik namun bisa dibilang tidak peduli apakah kami mau belajar atau tidak. Setiap ia masuk kelas, ia akan langsung meletakkan buku-bukunya di meja dan memulai ceramahnya. Terkadang ia menggambar atau menulis di papan, namun lebih sering berdiri di tengah-tengah baris kedua, di mana saya duduk, dan berkisah panjang lebar. Setiap kali bercerita, entah matanya menghadap ke mana. Ia seperti bercerita pada dirinya sendiri saja dengan nada yang monoton. Ia tak peduli apakah kami mendengarkan atau tidak. Saya dan teman sebangku saya bahkan kerap mengobrol dengan asyik padahal ia berdiri di samping kami. Ia bahkan tidak menegur murid-muridnya yang tidak menganggapnya ada.
Ngubek foto lagi belajar di kelas jaman SMA nggak ketemu,
jadi foto yang setidaknya di dalam kelas aja lah
.
         Saya dan teman sebangku saya pernah bertanya-tanya kenapa ya ia tidak marah dengan kelakuan kami ini. Namun untuk apa peduli toh kami menikmati gaya mengajarnya yang seperti itu, bukan karena kami suka belajar tentunya, tapi karena kami bebas melakukan apapun di kelasnya. Bukankah itu sebuah win-win solution? Guru menyelesaikan tugasnya mengajar dan murid bahagia karena bisa sekedar pura-pura belajar, toh saat ulangan juga beliau tidak peduli apakah kami mencontek atau tidak. Nilai kami bisa bagus dan beliau juga tetap bisa menyandang profesi guru dengan segala fasilitasnya. Salahnya di mana?
         Seandainya saya tidak kecemplung di dunia pendidikan dan terjebak dalam teks-teks filosofisnya yang kadang bikin dahi berkerut selama berhari-hari, barangkali selamanya saya akan menganggap bahwa ya tidak ada yang salah dengan metode seperti itu. Nilai yang bagus toh akan membanggakan orangtua, menelurkan ijazah yang gemilang dan jadi modal untuk masuk sekolah berkualitas di jenjang selanjutnya. Di mana kelak titel yang mentereng dari perguruan tinggi ternama akan memudahkan seseorang untuk bekerja di tempat yang bagus dan menjadi kaya karenanya.
        Akan tetapi apakah pendidikan sekedar itu?
        Sekedar menjadi jembatan demi meraih kesuksesan materi?

Menjejaki Ki Hajar Dewantara

        Diskusi dalam Kelas Membaca Ki Hajar Dewantara yang digagas oleh Kelompok Belajar Rawamangun, Sabtu 23/11/2019 lalu dibuka dengan kasus penikaman guru oleh remaja SMA di Bantul yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Masalahnya sederhana, si anak remaja jatuh cinta pada gurunya, namun karena bertepuk sebelah tangan jadilah ia tak ingin gurunya dimiliki orang lain dan lebih baik diakhiri saja hidupnya (berita lebih lengkap di sini ). Latar belakang anak ini memang bisa jadi sudah tidak baik, namun yang menjadi pertanyaan kami adalah anak ini sudah mengenyam bangku sekolahan selama setidaknya 10 tahun, sebentar lagi lulus dan menyandang predikat sebagai orang berpendidikan, apakah perilaku orang berpendidikan seperti itu? Pendidikan jenis apa yang selama ini ia terima? Apakah sekedar belajar untuk ujian itu berarti pendidikan?
         Ki Hajar Dewantara (KHD), dalam paparan di kelas tersebut, menyampaikan bahwa pendidikan merupakan segala pemeliharaan lahir dan batin terhadap anak-anak untuk dapat memajukan hidupnya lahir dan batin. Pendidikan tidak sekedar bicara tentang pengetahuan tapi juga naluri dan ilham yang akan menopang kelangsungan hidup seseorang secara lahir dan batin. Tugas seorang pendidik bukan hanya membuat anak menjadi tahu atau hafal, tapi juga sebagai pribadi yang sehat secara kejiwaan, mental dan spiritual.
        Sebab itu dalam semboyannya yang terkenal, KHD meminta agar para pendidik mampu memberikan contoh (perilaku?) yang baik- ing ngarso sung tulodo, mampu membangkitkan semangat belajar murid-murdinya - ing madyo mangun karso, dan memberi kepercayaan murid-muridnya - tut wuri handayani. Sungguh menjadi pendidik - dalam hal ini guru - bukan kerja sembarangan; tugasnya membangun manusia yang kelak menjadi pemangku bumi dengan segala isinya. Gagalnya pembentukan manusia bisa menyebabkan kegagalan juga pada kelangsungan hidup di bumi.
         Akan tetapi sayangnya hari ini guru dipandang sebagai tak ubahnya sekedar profesi, bagian dari industri jasa yang menjadi salah satu cara menopang ekonomi. Bayaran guru yang dihitung per jam, misalnya, membuat guru tak lagi peduli pada apa yang terjadi di luar jam mengajarnya.Tugas mendidik berubah menjadi tugas penghantar pengetahuan, menyampaikan informasi-informasi teknis yang akan segera dilupakan sesaat setelah ujian. Sementara di sisi lain, orangtua sudah terlalu sibuk dengan bisnis pribadinya dan menyerahkan semua proses pendidikan pada guru dan sekolah. Lantas, salah siapa kalau jiwa anak menjadi kosong dan rela melakukan hal-hal di luar nalar seperti kasus di Bantul tersebut?


Guru Kelas vs Guru Mata Pelajaran

          Seingat saya, zaman baru masuk Sekolah Dasar dulu, saya hanya punya satu orang guru kelas yang mengajar semua mata pelajaran. Karena setiap hari menghabiskan waktu dengannya, beliau menjadi tak ubahnya seperti ibu kedua kami. Rasanya beliau tak pernah memaksa kami untuk menjadi hebat di mata pelajaran tertentu, karena ia tak punya ego untuk meninggikan nilai di mata pelajaran tertentu.
          Sebagai murid, perasaan ini mulai berubah sejak adanya guru yang mengajar per mata pelajaran. Guru memang menjadi lebih expert dalam menjelaskan mata pelajarannya, namun saya merasa sentuhan personalnya berkurang. Guru menjadi lebih peduli pada mata pelajarannya alih-alih terhadap muridnya. Fokus utama menjadi lebih kepada bagaimana target kurikulum tersampaikan dan menafikan hal-hal spiritual dan kejiwaan seperti yang dipesankan oleh KHD. Menguasai topik dalam mata pelajaran yang ada memang penting, tapi menumbuhkan sisi spiritualitas manusia agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih waras juga bagian utama dalam pendidikan. Kalau guru sudah dibedakan berdasarkan mata pelajaran saja, dan lantas setiap guru hanya peduli pada mata pelajarannya saja, tugas pendidikan untuk memanusiakan manusia ini jadi tugas siapa?

          Dalam diskusi rutin Filosofi Charlotte Mason Selasa 19/11/19 lalu, kami membahas tentang bagaimana Charlotte mengibaratkan otak manusia seperti piano. Piano merupakan instrumen alat musik namun bukan musik itu sendiri. Sama seperti otak yang hanya sebuah instrumen berpikir namun bukan pemikiran itu sendiri. Otak perlu dilatih dan diberi makan agar kapabilitas akalbudi dapat berguna sesuai fungsinya.
         Tugas pendidik, baik orangtua maupun guru, adalah menyediakan atmosfer yang sehat untuk dihirup, melatih akalbudi agar mampu berpikir sendiri, juga yang utama menyediakan makanan yang bergizi untuk diolah agar akalbudinya bertumbuh. Sungguh bukan sekedar transfer pengetahuan dalam mata pelajaran yang sebenarnya di era kekinian bisa dilakukan dengan mudah oleh Mas Google.

Bukan (sekedar) Aktor

          Dulu saya percaya bahwa sebagai guru kita harus mampu bertindak layaknya aktor kawakan. Apapun masalah pribadi yang kita miliki, kita harus mampu memakai topeng guru di depan kelas. Bagaimanapun juga guru adalah pencipta suasana di dalam kelas; jika ia sudah tidak mengajar dengan (tampak) bahagia maka bagaimana mungkin muridnya bahagia dalam belajar.
           Akan tetapi setelah menjalani hari-hari sebagai guru, saya menyadari bahwa bertindak sebagai seorang aktor dengan peran yang sama setiap hari itu melelahkan. Lagipula, seorang aktor hanya menghadapi kamera, sementara guru menghadapi makhluk hidup paling peka bernama manusia. Di mana manusia-manusia ini, tidak peduli berapa umurnya, bisa mencium kepura-puraan dengan sempurna. Maka saya kemudian pun tersadar, sebagai guru sebaiknya kita tidak bermain peran.
 As a teacher,
our vision matter..
our mindset matter..
our loves matter..
our personality matter.
.
          Adalah sebuah hal yang perlu direnungkan kembali mengapa mesti memilih profesi guru. Jika sekedar ingin menjadi alat penopang ekonomi, bukankah ada lebih banyak profesi lain yang menghasilkan uang lebih banyak? Mengapa tidak mencoba peruntungan di tempat lain? Namun jika dirasa memang menjalani profesi sebagai guru ini sebuah pilihan sadar yang diputuskan sendiri, maka masih juga perlu direnungkan tentang apa sebenarnya tugas utama kita? Sekedar menyelesaikan target silabus kah? Atau memang ada tugas besar yang tidak sekedar untuk membantu murid agar bisa lulus ujian dengan nilai cemerlang?
         Saya pribadi percaya bahwa bagaimana visi kita terhadap hal yang kita kerjakan, bagaimana kita memandang pekerjaan ini dan bagaimana memandang murid-murid kita, menjadi satu tolak ukur yang penting. Apakah kita memandang mereka sebagai objek, atau sebagai sosok manusia yang perlu dibantu dengan segenap hati? Tanpa cinta dan kesadaran mengenai hal-hal yang mendasar dari nilai pendidikan, sungguh rutinitas menjadi guru merupakan kerja membosankan! Sudikah kita menghabiskan hari-hari kita dengan pekerjaan membosankan yang sia-sia?

        Selamat Hari Guru!


           

Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2