Gentle Art of Weaning
Punya anak ketiga di saat dua kakaknya sudah remaja rasanya seperti kembali menjadi ibu baru. Banyak hal yang harus saya pelajari ulang sejak awal kehamilan si bungsu. Saya mencari-cari lagi berbagai buku tentang kehamilan, tentang cara mendidik anak laki-laki (karena dua kakaknya perempuan), bahkan sampai menelusuri perkembangan otak manusia. Ternyata, meskipun ini bukan pengalaman pertama, hamil dan mengasuh anak selalu datang dengan wajah yang berbeda. Selalu terasa baru.
Bahkan proses menyusui si bungsu pun membuat saya belajar lagi, padahal dua kakaknya dulu juga berhasil menyusu hingga usia dua tahun tanpa tambahan susu formula. Tapi memang begitulah menyusui—selalu istimewa. Saya sangat menikmati proses menyusui terakhir ini. Ada rasa puas yang sulit dijelaskan saat menimang bayi, bercengkerama mesra sambil ia menyusu, menyanyikan lagu-lagu kecil, atau sekadar ketiduran bersama. Apalagi si bungsu ini bukan bayi yang rewel sejak lahir. Setiap malam ia hanya menangis kecil saat ingin menyusu, lalu kembali tidur setelah kebutuhannya terpenuhi. Saya pun bisa tidur nyenyak, meski sedang mengasuh bayi lagi di usia yang tak muda.
Satu hal yang saya sadari dari pengalaman menyusui kali ini adalah bahwa menyusui merupakan proses transisi. Saat di dalam rahim, bayi menyatu dengan tubuh ibu, begitu terlahir hidup di dunia dengan tubuhnya sendiri, menyusu menjadi jembatan sebelum ia benar-benar menghadapi dunianya sendiri. Dengan menyusu, bayi masih bisa “menempel”—masih bisa merasa dekat, dan aman bersama ibunya. Saya baru memahami, bahwa justru di sinilah weaning sesungguhnya sudah mulai: dari keterikatan total menuju perlahan-lahan berpisah. Menyusui bukan lawan dari penyapihan, tapi awal dari prosesnya. Sebuah proses melepaskan yang dimulai sejak pertemuan pertama.
Jadilah selama menyusui si bungsu ini, saya berusaha untuk hadir sepenuhnya. Saya sadar, manusia kecil di depan saya ini tak akan selamanya menempel seperti ini. Suatu hari nanti, ia akan tumbuh dan berdiri di atas kakinya sendiri. Momen-momen menyusu itu terasa begitu berharga karena perlahan saya belajar: kedekatan ini, yang begitu intens dan alami, suatu saat akan menjadi kenangan. Tak jarang saya merasa haru sendiri hanya dengan memandang wajahnya saat tertidur setelah menyusu.
Ketakutan MPASI
Setelah enam bulan hidup sepenuhnya bergantung pada ASI, tiba waktunya si bungsu mulai belajar makan dan secara perlahan mengurangi ketergantungannya. Di tahap ini, saya merasa perlu belajar lebih serius, karena pengalaman mengenalkan MPASI pada dua kakaknya dulu sejujurnya tidak terlalu berhasil. Pada anak pertama, saya terlalu khawatir ia kekurangan nutrisi, sampai-sampai sering memaksanya makan. Semakin dipaksa, semakin ia menolak. Akhirnya, masa MPASI menjadi pengalaman yang penuh tekanan—bagi saya maupun bagi dia. Sementara pada anak kedua, saya mencoba pendekatan sebaliknya: terlalu longgar. Saya memakai teori Baby Led Weaning dan membiarkan ia makan sesukanya. Hasilnya, berat badannya sempat terlalu rendah pada masa itu.
Dua pengalaman yang cukup berlawanan itu membuat saya ingin mencari pendekatan yang lebih seimbang. Untungnya, sekarang informasi tersedia di mana-mana. Tapi meskipun media sosial dan artikel daring mudah diakses, saya tetap lebih nyaman membaca buku—karena terasa lebih terstruktur dan mendalam. Dengan bantuan internet, saya bisa menemukan banyak pilihan buku. Saya membaca berbagai buku, dari yang sangat praktis sampai yang cukup filosofis. Dari dalam negeri, sampai luar negeri. Semakin saya membaca, semakin saya sadar: yang paling perlu dihadapi bukan soal apa makanannya atau bagaimana cara memberi makannya, tapi justru ketakutan saya.
Sebagai ibu, kita sering dibayangi ketakutan soal nutrisi anak: takut berat badannya kurang, tumbuh kembangnya terhambat, atau bahkan dianggap gagal tumbuh. Narasi-narasi seperti ini muncul di mana-mana—di buku, media sosial, dokter anak, bahkan obrolan antar orang tua. Makan harus sekian gram, harus sekian kali sehari, harus mencukupi semua kebutuhan protein, lemak, dan serat. Standar-standar itu seolah menjadi target yang wajib dicapai. Tapi ketika realita anak tidak sesuai dengan ekspektasi itu—menolak makan, memilih hanya beberapa jenis makanan, atau makan sangat sedikit—ketakutan pun muncul, seringkali berlebihan.
Pada titik itulah saya mulai mempertanyakan ketakutan saya sendiri. Sebenarnya, apa yang paling saya takutkan? Apakah saya takut anak sakit? Takut gagal tumbuh? Lalu, benarkah kalau ia tidak makan sesuai standar, ia pasti akan jatuh sakit atau tumbuh tidak optimal? Rasanya kok tidak sesederhana itu ya. Saya mengenal banyak orang yang tumbuh sehat meskipun masa kecilnya tidak ideal dari segi gizi. Bukan berarti saya ingin mengabaikan kebutuhan anak saya, tentu tidak. Tapi saya merasa penting untuk mulai mengatasi ketakutan saya sendiri—karena rasa takut itu justru bisa menjadi penghalang dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak dan proses makannya.
Salah satu hal yang membantu saya mengatasi ketakutan-ketakutan itu adalah buku My Child Won’t Eat karya Carlos González. Berbeda dengan banyak saran lain yang sering kali terkesan menakut-nakuti, dokter anak asal Spanyol ini justru menyampaikan pesan yang menenangkan: anak tidak mau makan sehari dua hari itu bukan masalah besar. Menurutnya, ada masa di mana anak makan banyak, ada masa di mana selera makannya turun—dan itu wajar. Tidak setiap hari kebutuhan makan anak harus terlihat sama persis. Bacaan ini membuat saya mulai melihat proses makan bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian dari perkembangan yang dinamis.
Senada dengan González, saya juga membaca karya-karya Ellyn Satter, seorang pakar feeding asal Amerika. Buku-bukunya saya tekuni satu per satu. Pendekatannya menekankan kepercayaan pada anak sebagai individu yang tahu kapan ia lapar dan kapan ia kenyang. Kedua tokoh ini, meski dari latar belakang dan pendekatan yang berbeda, sama-sama membantu saya meredakan ketakutan saya.
Selain membaca buku dan mencari pendekatan yang tepat, saya juga mencoba memahami lebih dalam akar dari ketakutan saya ini. Saya teringat bahwa waktu kecil, saya sendiri termasuk anak yang susah makan. Lalu, muncul satu kenangan lama—ketika ibu saya marah besar karena saya menolak makan. Marah yang bukan karena jahat, tapi mungkin karena gemas, cemas, dan lelah. Dan entah kenapa, momen itu tiba-tiba muncul kembali saat saya menghadapi anak saya. Mungkin, tanpa sadar, rasa takut itu ikut menurun.
Saya pun mencoba merasakan ulang emosi saya sebagai anak saat itu, sekaligus membayangkan perasaan ibu saya. Di situ, saya belajar memaafkan. Memaafkan ibu saya, memaafkan diri saya yang kecil dulu, dan menerima semuanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang kaya.
Kalau dipikir-pikir, agak lucu juga ya. Mau mulai MPASI saja, tapi sampai harus melalui proses healing dulu. Tapi saya percaya, emosi memang sering kali jadi akar dari banyak hal. Sebelum saya repot menyusun menu dan strategi makan, saya perlu menyelesaikan dulu yang satu ini—berdamai dengan perasaan saya sendiri.
Masa MPASI
Meski sudah membaca banyak buku dan melewati proses healing, nyatanya masa MPASI si bungsu tetap tidak berjalan mulus sepenuhnya. Ia memang cenderung lebih suka makan dibandingkan dua kakaknya dulu, tapi tetap saja ada hari-hari ketika ia menolak makan, atau ketika berat badannya stagnan. Bedanya, kali ini saya tidak langsung panik. Saya lebih bisa meregulasi emosi, dan lebih percaya pada proses, juga pada si anak. Saya belajar untuk melihat pola makan dari gambaran besar, bukan hanya dari satu-dua hari yang tampak “kurang”. Mungkin bukan karena semuanya lebih mudah, tapi karena saya sendiri sudah sedikit lebih tenang
Saat ini saya juga tidak anti suplemen—kalau memang dibutuhkan, ya diberikan. Kadang memang ada yang membantu melancarkan proses makan. Misalnya, saat dia terbukti kekurangan zat besi, saya telateni memberikan suplemen zat besi secara rutin. Ketika nafsu makannya sedang sangat menurun, saya juga pernah membantunya dengan multivitamin, meskipun tidak setiap hari. Sebab, kekurangan vitamin atau mineral tertentu memang bisa memengaruhi selera makan.
Si bungsu ini juga punya kecenderungan menyukai makanan yang manis. Buah dan karbohidrat adalah favoritnya—apa pun bentuknya, hampir pasti dia suka. Sayur pun tidak terlalu menjadi masalah, tapi justru protein yang cukup menantang. Mungkin karena rasa dan teksturnya yang lebih berat. Jadi, sampai hari ini, saya masih terus mencoba berbagai cara agar ia bisa menikmati asupan protein.
Melepas ASI
Kalau dua kakaknya dulu sudah saya ajak bicara jauh-jauh hari bahwa mereka akan berhenti menyusu di usia dua tahun, si bungsu justru belum saya beri isyarat apa-apa hingga sekitar sebulan sebelum ulang tahunnya yang kedua. Rasanya, saking menikmati proses ini, saya sendiri seperti lupa bahwa akan ada masa untuk berhenti. Melepas dari ASI memang bukan hanya soal kesiapan anak, tapi juga kesiapan ibu. Dan karena ini adalah anak terakhir, saya pun merasa lebih berat melepas—karena ini bukan sekadar menyapih anak, tapi juga menutup satu fase keibuan yang tidak akan terulang lagi.
Barangkali karena membaca ketidaksiapan saya, si bungsu pun belum menerima jika disuruh berhenti menyusu. Menjelang usia dua tahun, ia malah semakin gencar menyusu. Dan lagi-lagi, saya sadar bahwa itu karena saya sendiri belum benar-benar tega melepas. Maka, beberapa bulan setelahnya, fokus saya justru lebih banyak untuk menyiapkan diri sendiri sebelum mengurangi porsi menyusunya.
Ketika saya mulai merasa lebih siap, prosesnya pun berjalan perlahan. Saya mulai dari hal sederhana—mengenalkan bahwa menyusu sebaiknya hanya di kamar, lalu membatasi hanya saat tidur siang, tidur malam, dan tengah malam. Setelah itu, saya kurangi lagi: hanya tidur malam dan tengah malam. Tapi bagian ini cukup lama bertahan, karena ia tetap enggan tidur malam tanpa menyusu lebih dulu.
Sempat, karena gemas, saya coba “jalan pintas”—mengolesi puting dengan bubuk biji mahoni yang pahit. Tapi ternyata, itu pun tak membuatnya mundur. Ia tetap mau saja menyusu, bertahan dengan rasa pahitnya. Dari situ saya belajar, cara-cara manipulatif seperti ini memang tidak sejalan dengan proses yang saya inginkan. Kesiapan harus benar-benar datang dari dia, bukan dipaksakan.
Hingga akhirnya, ia mulai bisa tidur malam tanpa menyusu. Yang tersisa hanyalah sesi menyusu di tengah malam—yang cukup lama bertahan. Saat ia terbangun, saya coba tawarkan air putih yang memang selalu saya sediakan di samping tempat tidur. Kadang ia setuju, kadang tetap meminta menyusu. Tapi dari situ ia mulai belajar bahwa air putih bisa jadi pengganti ketika haus di malam hari. Setelah usianya melewati 31 bulan, saya mulai menolak permintaan menyusu di tengah malam. Awalnya tentu "bertengkar" dulu kami, tapi lama-lama dia menerima. Beberapa malam berikutnya, kalau terbangun, ia langsung minta air putih saja.
Setelah seminggu bertahan seperti itu, saya yakin: proses menyusui kami telah selesai.Sebuah transisi yang berjalan perlahan, dengan kesepakatan tanpa kata-kata. Ada rasa haru yang menyelimuti, karena meskipun ini akhir dari satu fase, saya tahu itu juga tanda bahwa kami telah melewatinya dengan penuh cinta dan saling percaya.
Proses Weaning Berlanjut
Berakhirnya proses menyusui bukan berarti proses menyapih benar-benar selesai. Berhenti menyusu hanyalah tanda bahwa secara biologis, anak sudah mampu mengasupi tubuhnya sendiri tanpa bantuan nutrisi dari tubuh ibu. Tapi manusia tidak hanya terdiri dari tubuh. Yang lebih menantang justru adalah menyapih dalam makna yang lebih utuh—mempersiapkan anak agar mampu hidup mandiri sebagai manusia seutuhnya. Itu berarti menyiapkan mentalnya, intelektualnya, emosional dan spiritualnya. Dan ini adalah pekerjaan jangka panjang, mungkin seumur hidup.
Tapi bukankah memang itu tugas orangtua? Bukan hanya membesarkan anak yang sehat secara fisik, tapi juga membentuk manusia yang mampu menjalani hidup sesuai tujuan penciptaannya.
Karena itu, saya tahu bahwa proses weaning belum selesai. Di masa depan, saya akan kembali menghadapi banyak proses belajar—riset baru, healing yang lain, dan momen-momen untuk membangun kembali kepercayaan, baik pada anak saya maupun pada diri saya sendiri. Dan begitulah, parenting bagi saya adalah the gentle art of weaning—seni melepaskan secara perlahan, sambil tetap hadir, tumbuh bersama, dan saling menguatkan.
Comments
Post a Comment