Alasan (Tetap) Memilih Homeschooling - Part 3
Sebuah Perjalanan Spiritual
Bulan depan sulung kami, Taci, memasuki usia 10 tahun. Tidak terasa sudah sejauh itu pula kami nyemplung ke dalam ide untuk tidak menyekolahkan anak-anak kami. Perjalanan homeschooling kami, seperti layaknya perjalanan kehidupan, sangat naik turun dengan beragam cerita yang kadang membuat tersenyum, namun tak jarang pula membuat merenung..betapa kami telah salah melakukan banyak hal. Kesalahan memang jadi bagian dalam proses homeschooling kami, baik dalam teknis maupun pemahaman. Akan tetapi dari kesalahan itulah kami belajar banyak.
Sampai hari ini pun, rasanya belum ada yang benar benar berjalan dengan sempurna. Si kakak memang kadang menunjukkan perilaku atau perkataan yang menjadi buah dari makanannya selama ini, namun seringpula ia masih bertindak kekanak-kanakan atau mengimitasi perilaku buruk kami. Pun begitu dengan si adik yang super keras kepala, meski cerdas namun membuatnya mau menuruti perintah kami pada saat pertama (atau kalau dalam bahasa CM, first time obedience) sungguh masih sebuah perjuangan.
Begitu pula dalam proses belajar formal, masih jauh jika dibandingkan dengan standart normal dalam pembelajaran CM. Kami masih terus berjibaku dengan mengkombinasikan materi standart CM dengan rasa lokal, seringkali masih belum pas. Rutinitas belajar pun perlu berulang ulang dievaluasi, sebab kadang kehilangan rasa sehingga seperti terjebak dalam rutinitas belaka. Sebagai fasilitator belajar, saya perlu usaha ekstra untuk mencari buku-buku terbaik yang bisa menyehatkan jiwa mereka, namun kadang saya lelah atau tiba tiba malas sehingga anak-anak makan apa adanya.
Maka, dengan seribu kekurangan dan kesulitan itu, menyesalkah memilih homeschooling? Rasanya justru berkebalikan dari itu, sangat bersyukur. Kami tidak bisa berpura-pura menyajikan atmosfer kehidupan yang luar biasa baik, anak-anak pun tidak menunggu kami menjadi sempurna sebelum mereka menghirupnya dari kami, namun pada proses itulah kami belajar bersama. Meski tidak ada piala yang terpampang di rumah kami, tidak pernah mengenal nilai A atau 100, anak-anak terkadang masih berkelakuan buruk, masih bertengkar satu sama lain, saya pun masih kelepasan ngomel.. tapi sungguh kami bersyukur karena begitu banyak hal yang kami pelajari dalam proses ini. Kami sadar perjalanan kami masih sangat panjang, dan masih begitu banyak hal lagi yang perlu kami pelajari dan perbaiki.
Raising Children is Raising Ourselves
Kalimat dari Naomi Aldort itu yang dulu pertama menyadarkan saya bahwa dalam proses menumbuhkan anak-anak ini, kami juga harus mampu bertumbuh. Bukan sekedar meminta anak belajar, menyuruhnya mengerjakan sesuatu, berharap ada perubahan tingkah laku dari mereka, tapi yang utama adalah kami juga harus bertransformasi menjadi lebih baik setiap hari.
Saya sadar sebagai sesosok pribadi saya jauh dari sempurna. Saya ini egois, sombong, judgemental, pemalas, pemarah, sensitif, sinis, terkadang culas, kepo untuk hal-hal yang nggak penting, dan macam sebagainya. Namun kalau ditanya, apa saya mau anak-anak saya tumbuh jadi orang dewasa seperti itu? Tentu saya tidak mau. Oleh sebab itu, jalan satu satunya adalah saya harus mau belajar untuk berubah.
Proses perubahan itu tentunya tidak memakan waktu hanya semalam. Mengikis nilai - nilai lama
yang mengerak di dalam benak dan diri saya jelas bukan persoalan mudah. Secara sadar saya tahu apa yang harus saya lakukan, namun secara tidak sadar saya masih sering kelepasan berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak saya harapkan. Akan tetapi disitulah saya, suami dan anak-anak belajar bersama. Mereka tahu bahwa orangtuanya tidak sempurna, namun mereka juga merasakan bahwa dalam ketidaksempurnaan itu ada usaha untuk mengubahnya. Sebagai keluarga kami kemudian saling mengingatkan, bukan sekedar orangtua mengingatkan anak-anak tapi juga mereka mengingatkan kami. Dan inilah salah satu hal yang kami syukuri; kami berproses bersama. Pendidikan ini bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk kami.
yang mengerak di dalam benak dan diri saya jelas bukan persoalan mudah. Secara sadar saya tahu apa yang harus saya lakukan, namun secara tidak sadar saya masih sering kelepasan berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak saya harapkan. Akan tetapi disitulah saya, suami dan anak-anak belajar bersama. Mereka tahu bahwa orangtuanya tidak sempurna, namun mereka juga merasakan bahwa dalam ketidaksempurnaan itu ada usaha untuk mengubahnya. Sebagai keluarga kami kemudian saling mengingatkan, bukan sekedar orangtua mengingatkan anak-anak tapi juga mereka mengingatkan kami. Dan inilah salah satu hal yang kami syukuri; kami berproses bersama. Pendidikan ini bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk kami.
Dalam menemani mereka belajar, karena metode CM menyandarkan pada alam dan buku-buku (yang butuh) berpikir, saya juga belajar macam-macam. Selain pengetahuan yang tidak pernah secara serius saya pelajari jaman sekolah dulu, juga nilai nilai kebajikan, kebenaran, keindahan, dan lain lain. Banyak hal baru yang saya dapatkan dalam proses saya membacakan materi pada anak-anak. Dari biografi tokoh-tokoh besar yang kami baca, saya belajar tentang bagaimana sebuah karakter berbudi terbangun. Dari kisah-kisah sejarah dan menyusunnya dalam rentetan timeline periodesasi sejarah, saya jadi semakin paham bagaimana kondisi menjadi seperti sekarang ini. Dari puisi, lukisan dan musik yang kami pelajari, saya belajar tentang keindahan dan menyeimbangkan jiwa saya yang selama ini luput dari hal-hal semacam itu.
Menghanyutkan diri di alam juga memaksa saya memperhatikan semesta lebih seksama. Dan benarlah kalau kata pepatah bahwa alam terkembang menjadi guru, banyak nilai-nilai (bukan hanya pengetahuan) di alam yang jika direnungi akan membawa kita pada pencerahan dan kesadaran baru. Hmm, terlalu abstrak ya? Misalnya begini, sebagai seorang yang judgemental, saya dulu kerap merasa bahwa apa yang saya jalani, apa yang saya percayai, adalah yang paling benar dan yang lain salah. Namun saat menelisik lebih dalam di alam, saya melihat bahwa segala benda di alam mengalami proses yang berbeda, dengan kendalanya masing-masing, dan ciri khasnya masing-masing. Tak pernah belalang iri pada kupu-kupu yang mengalami metamorfosa sempurna sementara ia tidak. Belalang memang ditakdirkan jadi belalang, dan kupu-kupu tak perlu mencibirnya hanya karena ia belalang.
Menghanyutkan diri di alam juga memaksa saya memperhatikan semesta lebih seksama. Dan benarlah kalau kata pepatah bahwa alam terkembang menjadi guru, banyak nilai-nilai (bukan hanya pengetahuan) di alam yang jika direnungi akan membawa kita pada pencerahan dan kesadaran baru. Hmm, terlalu abstrak ya? Misalnya begini, sebagai seorang yang judgemental, saya dulu kerap merasa bahwa apa yang saya jalani, apa yang saya percayai, adalah yang paling benar dan yang lain salah. Namun saat menelisik lebih dalam di alam, saya melihat bahwa segala benda di alam mengalami proses yang berbeda, dengan kendalanya masing-masing, dan ciri khasnya masing-masing. Tak pernah belalang iri pada kupu-kupu yang mengalami metamorfosa sempurna sementara ia tidak. Belalang memang ditakdirkan jadi belalang, dan kupu-kupu tak perlu mencibirnya hanya karena ia belalang.
Perenungan macam itu barangkali tidak terjadi seandainya saya tidak memaksa diri mengajak anak-anak bermain di alam dan tidak menempatkan diri sebagai sesama pembelajar dengan mereka. Maka yah, homeschooling ini pada akhirnya bukan sekedar jalur alternatif yang kami pilih untuk proses pendidikan anak-anak, melainkan juga sebuah perjalanan spiritual bagi saya. Tuhan seperti mengajarkan pada saya tentang bagaimana memaknai hidup, bukan sekedar menjalani hidup tanpa memahami esensinya.
Kebaikan Tuhan dalam mengajari saya berbagai hal, atau mempertemukan saya dengan berbagai macam kejadian - yang kerap kali terjadi karena proses homeschooling ini - juga membawa saya untuk belajar lebih banyak lagi tentangNya. Saya sadar bahwa proses pendidikan ini tak lepas dari peranNya selaku pemilik kehidupan. Permasalahan demi permasalahan yang terjadi memaksa saya membaca, merenung dan kadang berkaca. Semakin kesini saya semakin sadar bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Selama masih bernyawa, disitulah proses pendidikan masih berlangsung. Sebab tidak ada manusia sempurna dan tidak ada kondisi yang sempurna, maka dari itu kehidupan disebut sebagai sebuah proses. Alangkah baiknya jika proses itu berjalan menuju ke arah yang lebih benar, dan hanya pendidikan dariNya - dengan inisiasi dari setiap individu - yang bisa mengiringi proses tersebut. (Selesai)
Comments
Post a Comment