Menumbuhkan Benak-benak Filosofis

"Apa Tuhan itu butuh makan?" tanya bungsu saya, Tara, saat ia berusia 3 tahun.

"Menurutku, tubuh ini seperti negara..ada pemimpin ada rakyat. Tubuh yang dipimpin dengan baik sama seperti negara yang dipimpin dengan baik" ujar sulung saya, Taci (10), beberapa hari yang lalu.

Tidak terhitung betapa banyaknya anak-anak mengungkapkan pernyataan ataupun pertanyaan yang membuat kita terbelalak. Bingung rasanya mau menjawab atau menanggapi apa. Saya dan suami seringkali menganggap momen-momen seperti ini penting untuk pembelajaran bagi kami,  sebab pandangan mereka tentang hidup terkadang jauh lebih baik dibanding kami yang sudah banyak makan asam garam. Sebab  juga dikatakan bahwa kita tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah kalau kita tidak menjadi seperti anak kecil, maka kami seringkali menggunakan bahan diskusi dengan mereka sebagai refleksi bagi kehidupan kami.

Ya, anak-anak memang filsuf handal. Namun mengapa sebagian besar dari mereka melupakan rasa penasaran mereka terhadap kehidupan sejati seiring dengan bertambahnya usia mereka? Mereka sibuk beraktivitas untuk mengejar hal-hal pribadi sehingga lupa untuk kembali berefleksi tentang untuk apa sebenarnya mereka hidup.

Waktu kecil, saya juga sering memiliki jutaan pemikiran aneh-aneh dalam benak saya. "Kenapa saya dilahirkan di lingkungan ini? Kenapa Tuhan menciptakan saya? Benarkah ritus-ritus yang sudah saya jalani selama ini?" Namun sayangnya ketika pertanyaan-pertanyaan ini saya ungkapkan pada orang dewasa, seringkali jawabannya adalah "Hush, nggak boleh mikir gitu" atau "Nanti juga kalau gede tau" dan lain sebagainya. Bersyukur bahwa saya masih bisa menghirup atmosfer mencari kebenaran dari ayah saya, sehingga saat saya beranjak dewasa pertanyaan-pertanyaan itu terus saya bawa dalam pikiran saya. Lain cerita kalau ternyata tidak ada atmosfer itu, barangkali saya sudah kecewa karena tidak pernah mendapatkan jawaban sehingga kemudian melupakannya.

Bagaimana orang dewasa menyikapi pertanyaan-pertanyaan anak-anak tersebut memang penting. Seringkali kita meremehkan, menganggapnya sebagai angin lalu, atau justru melarangnya berpikiran demikian, "Apa sih pentingnya punya pikiran seperti itu?"

Minggu lalu, saat saya dan beberapa teman berkesempatan mengikuti kegiatan Doing Philosophy with Children di Unika Atma Jaya, Nanda Van Bodegraven - seorang dosen filsafat asal Belanda yang menjadi mentor dalam acara itu, mengatakan bahwa seseorang yang pemikiran kritisnya terfasilitasi dengan baik akan memiliki pola pikir yang juga jauh lebih baik dibandingkan dengan yang meninggalkan pola pikir kritisnya saat masih anak-anak. Nanda yang juga seorang konsultan bisnis psikologi menambahkan bahwa ia telah banyak mewawancarai orang yang sedang mencari pekerjaan; mereka yang mampu berpikir filosofis (a.k.a berpikir kritis) biasanya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, dan kalau kedua kemampuan itu sudah dimiliki maka perusahaan-perusahaan akan berlomba lomba mendapatkan orang-orang seperti itu.

Saya pribadi percaya bahwa pola pikir yang baik dan mampu mengkritisi sesuatu dengan cara yang benar bukan hanya bermanfaat untuk kepentingan materi, tapi juga untuk menjalani hidup. Di dunia yang penuh dengan milyaran informasi ini, ketidakmampuan untuk berpikir kritis rasanya akan menenggelamkan kita dalam banjir informasi. Tidak jarang orang yang terseret dalam banjir ini akhirnya menjalani hidup tanpa kesadaran penuh, sekedar ikut-ikutan sana sini, terbawa arus tanpa tahu mengapa harus melakukan itu sehingga akhirnya merugi bolak balik.

Oleh sebab itu rasanya penting bagi kita orang dewasa untuk mampu memfasilitasi kemampuan berpikir kritis anak-anak sehingga pemikirannya akan terus berkembang dan bukan malah berhenti tumbuh. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa justru berpikiran bahwa anak-anak tidak mampu berpikir lebih baik dari orang dewasa "Ah, anak kecil tahu apa!", sehingga akhirnya kita meremehkan daya pikir mereka. Banyak juga para pendidik kita yang mengamini teori Jean Piaget (1933) yang menyatakan bahwa anak-anak baru mampu berpikir saat berusia 11-12 tahun.

Menyanggah kebenaran teori tersebut, Profesor Matthew Lipman yang pernah mengajar di Universitas Columbia mengumumkan hasil risetnya pada tahun 1983; anak-anak yang terbiasa berpikir kritis memiliki prestasi yang jauh lebih baik dibanding yang tidak. Lipman percaya bahwa anak-anak mampu untuk berpikir kritis sejak jauh sebelum berusia 11 tahun. Prestasi akan diraih dengan baik manakala pemikiran itu dipupuk dan disiram sehingga mereka akan terbiasa dengan pola pikir filosofis. Dalam kehidupan nyata, sebenarnya kita sudah sering melihat banyak anak-anak usia dini yang mampu mengeluarkan pertanyaan atau pernyataan yang di luar pemikiran kita. Artinya, bibit berpikir filosofis itu sebenarnya sudah ada dalam benak anak-anak. Pilihannya tinggal, kita mau menumbuh suburkan bibit tersebut atau justru memangkasnya agar tidak lagi bertumbuh?






Comments

  1. Ponakan lima tahun saya pernah bertanya, apa yg dikerjakan Tuhan saat bumi berisi Dinosaur semua?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2