Menekuni Narasi

Beberapa tahun yang lalu, saat saya membacakan kisah tentang 9 anak dari 9 tempat yang berbeda dengan kepercayaan yang berbeda dari seri Child Craft edisi About Us pada sulung saya, ia menganggap kisah itu seperti menambah teman baru. Matanya berbinar-binar membayangkan rutinitas yang dilakukan anak-anak tersebut. Empatinya tumbuh karena menyadari bahwa tidak semua orang sama. Namun kemarin, saat membacakan cerita yang sama pada si bungsu di usia yang sama dengan kakaknya kala itu, responnya berbeda. Ia justru menghujani saya dengan beragam pertanyaan tentang detail dari kepercayaan dalam cerita itu.

"Kenapa orang bisa lahir kembali? Ke mana memang sebenarnya jiwa manusia kalau ia sudah meninggal? Kenapa kok bisa percaya kalau binatang itu tuhan? "

Saya menjadikan pertanyaan-pertanyaannya sebagai bahan diskusi yang menyenangkan dengannya. Namun perbedaan respon pada 2 anak yang dibacakan buku yang sama di usia yang sama, dengan bapak-ibu yang berpola pikir sama, ini mengingatkan saya pada butir pertama filosofi CM : Children Are Born Person.

Sama seperti setiap anak sejak lahir sudah memiliki sistem pencernaan, cukup memberinya makan dan tubuhnya akan mengolah dengan sendirinya, maka sejak lahir pun anak sudah memiliki akal budi yang mampu memproses 'bahan makanan' dengan caranya masing-masing. Proses yang terjadi pada setiap diri manusia  ini unik dan tidak sama. Jika ada dua manusia yang sama-sama makan jagung, misalnya, bagaimana jagung tersebut terproses di dalam tubuh, mengambil sari pati yang dibutuhkan dan mengeluarkannya dalam sisa makanan, tentu berbeda untuk setiap orang. Tergantung kemampuan tubuh masing-masing, dan kebutuhan masing-masing. Sebab itu ada candaan "ah elo mah enak makan banyak nggak gendut gendut, lah gw minum air putih aja jadi daging."

Ya, lambung manusia memang ajaib dan unik. Tanpa campur tangan kita, demikian sudah tercipta oleh Yang Maha Kuasa. Begitupun dengan akal budi manusiaSaat ada sebuah ide yang masuk ke dalamnya, tidak semua orang akan menanggapinya dengan sama. Proses yang terjadi di dalam akal budi akan berbeda meski 'makanannya' sama. Cerita yang sama akan menghasilkan dua respon yang berbeda saat dibacakan pada dua anak yang berbeda. Sebab Children Are Born Person.

Akan tetapi meski terlahir dengan anugrah sedemikian rupa, bukan berarti kita harus membiarkannya begitu saja. Sama seperti lambung yang ajaib, tak akan berproses jika tak ada makanan, akal budi pun demikian. Agar dapat membantu manusia bertumbuh secara spiritual, akal budi perlu diberi makan. Dan meski setiap tubuh memiliki proses pencernaan yang berbeda-beda, tubuh tetap memiliki hukum universal pada jenis makanan apa yang baik baginya. Terlalu banyak gula, atau terlalu banyak gluten misalnya, akan berakibat tidak baik bagi tubuh, meski lama dampaknya akan berbeda di setiap orang. Ada yang langsung sakit perut, ada yang baru terasa dampaknya di usia senja.

Demikian juga akal budi dan makanan yang masuk ke dalamnya. Tidak semua makanan baik bagi pertumbuhan akal budi. Ada makanan yang berupa ide sehingga memantiknya untuk berpikir, namun ada juga makanan yang sudah digiling demikian halus sehingga akal budi tinggal telan. Makanan yang tinggal telan inilah yang dianggap Charlotte melumpuhkan akal budi. Kejam memang, tapi bayangkan saja jika Anda terus menerus mengonsumsi bubur hingga dewasa? Apa yang kiranya akan terjadi pada alat-alat pencernaan Anda?

Sebab itu dalam metode CM, fasilitator (orangtua ataupun guru) dilarang berceramah panjang-panjang atau menjelaskan sesuatu dengan cara yang sedemikian rupa agar anak mengerti. Melakukan hal semacam itu menurut Charlotte merendahkan kapasitas berpikir seorang anak. Kita seperti tidak percaya bahwa anak mampu mengolah makanannya sehingga kita terus menerus membantunya mengunyah. Untuk membantunya bertumbuh, anak-anak perlu dilatih mengunyah sendiri makanannya.

Pelatihan mengunyah ini dalam metode CM disebut dengan narasi.

Proses Bernarasi


Setelah bercerita tentang keseharian homeschooling kami dan bagaimana saya memilih buku untuk pelajaran akademis anak-anak, seorang teman bertanya tentang apa yang saya lakukan dengan buku-buku itu? Mengapa jam pelajaran begitu pendek? Belajar sejarah cuma 5 menit itu ngapain aja Yu?

Ah iya, tiba-tiba saya sadar kalau biasanya di sekolah satu mata pelajaran dihabiskan dalam waktu 1,5 jam ya. Menghabiskan satu mata pelajaran hanya dalam 5-15 menit ini barangkali mengundang begitu banyak pertanyaan tentang bagaimana prosesnya.

Jadi begini, karena dalam metode CM fasilitator dilarang ceramah dan pelajaran akademis sebenarnya merupakan media pelatihan karakter, maka proses yang dilakukan setelah memilih buku-buku terbaik hanyalah bacakan (atau anak bisa membaca sendiri jika sudah cukup usia dan buku tersebut memang sanggup dibacanya sendiri) dan minta anak menceritakan kembali apa yang ia dengar/baca tersebut. Proses menceritakan kembali ini dibagi menjadi 2 tahap, lisan dan tulisan. Jika mereka masih usia sekolah dasar awal, maka cukup minta narasi lisan. Seiring dengan berjalannya waktu, saat narasi lisannya sudah mulai terstruktur, sebagai pertanda bahwa ia sudah mampu mengunyah dengan baik, maka anak-anak bisa mulai dimintai narasi tertulis (sekitar kelas 4-5 SD).

Hal ini terdengar sangat sederhana, tapi coba saja baca sebuah tulisan dan ceritakan kembali apa yang sudah Anda baca pada orang terdekat Anda. Atau, minta seseorang membacakan sesuatu pada Anda dan ceritakan ulang apa yang sudah Anda dengar. Bagi saya pribadi yang sudah dewasa, menarasi ini bukan pekerjaan mudah. Saya harus berkonsentrasi penuh, dalam satu waktu harus mampu menangkap sekaligus mengolah isi cerita lantas mengeluarkannya kembali dalam kalimat-kalimat yang terstruktur agar mudah dimengerti. Sungguh kerja mental yang menantang!

Dengan pekerjaan sesederhana narasi, anak-anak membangun kebiasaan berkonsentrasi, kebiasaan mendengar dengan saksama, kebiasaan berpikir dan juga melatih kemampuan untuk menumpahkan isi pikirannya dalam bahasa yang terstruktur demi terciptanya komunikasi yang baik. Lebih jauh dari itu, menurut Karen Glass dalam bukunya Know and Tell, narasi membangun relasi yang lebih dalam antara pikiran anak dengan pikiran penulis buku. Anak-anak belajar bahwa untuk memahami sesuatu ia perlu mengetahui gambaran besarnya, alih-alih hanya sepotong-sepotong.

Demi membangung relasi itulah maka fasilitator dilarang berceramah panjang lebar, biarkan anak menangkap sendiri apa yang ingin disampaikan penulis melalui buku-buku itu. Namun, fasilitator tetap bisa menjadi teman diskusi bagi anak saat sedang mengunyah ide-ide dari buku tersebut. Jadi setelah anak melakukan narasi, biasanya jika terpantik ia langsung akan mengajukan pertanyaan. Namun jika anak tidak bertanya dan fasilitator merasa ini saat penting untuk diskusi, fasilitator boleh mengajukan pertanyaan pada anak.

Akan tetapi pertanyaan yang diajukan, juga dilarang yang berupa pertanyaan komprehensi, seperti : siapa tadi nama ibunya? atau apa yang ia lakukan setelah ia pindah ke kota yang baru? atau kapan Alexander The Great menjadi raja?. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya bersifat meminta informasi spesifik, padahal yang kita butuhkan adalah memantik akal budinya, bukan sekedar hafal informasinya.

Sebaiknya bertanyalah dengan pertanyaan yang kembali memancing anak untuk berpikir, misalnya : Apakah mungkin mereka berteman selamanya? Persahabatan seperti apa yang bisa bertahan lama?. Prinsip dalam diskusi ini hanyalah membantu anak berpikir, hati hati jangan sampai terjebak untuk mengunyahkan dan minta anak untuk langsung menelan. Sesekali boleh, namun jika terus menerus efeknya baru akan terasa di masa depan.

Pun demikian, diskusi tidak selalu harus dilakukan. Adakalanya anak-anak cukup menarasikan dan jika memang tidak ada pertanyaan atau ungkapan cerita tambahan dari anak, maka mata pelajaran pun selesai. Sederhana sekali. .

Pendidikan Adalah Iman

"Seringkali kita meyakini bahwa untuk meraih kesuksesan adalah dengan melakukan hal-hal besar yang membuat banyak orang terkagum-kagum. Sementara itu, hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari seringkali tampak remeh karena tidak tampak bermakna. Tetapi jika kebiasan-kebiasaan kecil ini dibangun secara konsisten setiap hari dan membuat kemajuan sebanyak 1% per hari, kiranya bagaimana hasilnya setelah 365 hari?"

Demikian terjemahan bebas dari secuil tulisan James Clear dalam bukunya Atomic Habit. Temuannya ini menguatkan dasar-dasar pelatihan kebiasaan yang diusung dalam metode CM, termasuk narasi. Proses sederhana ini hanya akan mendapatkan hasil yang baik jika dilakukan dengan konsisten dan bukan hanya sesekali. Kesederhanaannya memang kerap kali meragukan kita apakah hal ini akan membuahkan hasil yang benar atau tidak. Tetapi seperti dikatakan Clear, kemajuan 1% memang tidak tampak berarti, namun jika terus menerus dilakukan barulah akan membuahkan hasil yang besar.
Jangan Biarkan Musuh Menabur Benih Yang Buruk Di Taman Rumahmu
Untuk bisa konsisten, orangtua atau fasilitator memang butuh iman. Dalam arti, memahami betul konsep narasi untuk kemudian meyakini bahwa ini memang bermanfaat. Seperti pekerjaan menabur benih pada tanah yang subur; meski sama-sama bibit cabai tapi kadang pertumbuhannya berbeda. Kita perlu konsisten merawatnya dan mengimani bahwa bibit baik yang kita tabur ini suatu saat akan tumbuh bermanfaat.








Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2