Mempelajari Hukum Alam dalam Pendidikan

Bagaimana cara supaya anak menurut?
Bagaimana agar anak mau rajin belajar?
Bagaimana supaya anak nggak main gadget terus?

Seringkali dalam memikirkan soal pendidikan kita berkutat dengan segala permasalahan teknis seperti di atas. Padahal cara demi cara ini terkadang berbeda satu sama lain, sehingga ada kalanya kita kebingungan memilih mana cara yang paling tepat. Kita pun menguji coba cara ini itu dan mendapati bahwa cara satu tidak selalu bisa diterapkan pada semua anak. Akhirnya kita biasanya berhenti pada konsep : setiap orang itu unik dan memiliki caranya masing-masing. Ini betul! Setiap bayi yang lahir ke dunia memiliki kekhasan sifat masing-masing, Children Are Born Person. Akan tetapi bukan berarti segalanya unik lantas tak ada satupun hukum yang berlaku dalam proses ini bukan?

Sama seperti proses makanan masuk ke dalam tubuh kita. Setiap tubuh memang memiliki keunikan masing-masing. Ada yang sakit perut saat makan cabai, ada yang tidak. Ada yang tak masalah dengan susu, ada yang langsung ruam ruam minum susu sedikit saja. Pun bukan berarti tak ada hukum alam yang berlaku di dalam proses memasukkan makanan ke dalam tubuh. Saat seseorang makan melebihi porsinya, meski porsi setiap orang berbeda, pasti ia akan kenyang. Saat seseorang konsumsi pemanis buatan kebanyakan, pasti akan ada masalah dengan tubuhnya, meski sampai kapan akhirnya muncul masalah bisa berbeda-beda.

Begitupun dalam proses pendidikan. Alih-alih mendahulukan pertanyaan tentang bagaimana, kenapa kita tidak mencoba dulu memahami hukum, kodrat, cara kerja akal budi serta hasrat manusia? 

Apa sih yang bisa masuk dan tercerna dengan baik oleh akal budi manusia?
Bagaimana hukum kerja otak?
Hasrat apa saja yang sebenarnya secara alami dimiliki manusia?
Bagaimana memanfaatkan hasrat alami itu untuk kepentingan pembelajaran?
Atau, hasrat apa yang bisa merusak proses pembelajaran?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu memang bukan perkara mudah. Akan tetapi, ketika pertanyaan itu sudah berhasil kita jawab, memilih teknis yang tepat bukan lagi perkara sulit. Teknis tersebut tinggal kita lihat saja, sesuaikah dengan hukum alam/kodrat/hasrat manusia?


Hasrat Belajar Alami

Saya terinspirasi membahas ini dari mengamati bayi yang ada di rumah. Ia sedang asyik-asyiknya menjelajah ke sana ke mari. Dari merangkak sampai bisa berjalan timik-timik, tak henti-hentinya ia mengeksplorasi apapun yang bisa ditemuinya. Ia ingin tahu banyak hal. Ia ingin belajar mengenai berbagai macam. Dunia ini sesuatu yang menakjubkan untuknya, sehingga ia ingin mempelajari semuanya. 

Ya, dunia ini memang menakjubkan dan manusia punya akal budi untuk mempelajarinya kemegahan ini. Tak heran kalau belajar merupakan hasrat alami manusia. Bagai botol bertemu tutupnya. Klop!

Tapi mengapa beranjak agak besar sedikit anak-anak tak lagi punya minat belajar? Mereka malas kalau disuruh belajar! Maunya hanya main game saja. Tak lagi tertarik pada dunia yang menakjubkan ini. Padahal ilmu di dunia ini tak ada habisnya dan masih akan terus menakjubkan seberapa banyakpun kita belajar.

Jika itu terjadi, apa yang salah dalam proses ini?

Mari kita telaah.

Akal budi manusia diciptakan untuk bekerja - memproses makanan yang masuk. Jenis makanan yang masuk tentu akan sangat mempengaruhi proses kerja si akal budi ini. Slogan 'You are what you eat' bukan hanya cocok untuk proses pencernaan fisik biologis tapi juga proses kerja si akal budi. Jika yang masuk adalah ilmu tingkat tinggi, maka itu pulalah yang akan jadi bahan pemikirannya. Namun jika yang masuk adalah ilmu receh, maka itu juga yang akan jadi bahan pemikirannya.

Akal budi butuh ilmu untuk diproses, untuk kemudian menghasilkan pemikiran baru yang menumbuhkan kehidupan pemilknya. Pemikiran-pemikiran ini lah yang menjadi dasar dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya. Tanpa proses berpikir, manusia akan mengikuti saja ke mana pun arus mayoritas atau lingkungan sekitar membawanya. Tak ada fondasi yang kuat tentang mengapa harus melakukan sesuatu, sehingga tak heran kalau cepat rubuh.

Agar akal budi bisa memproses makanan yang masuk, tak cukup hanya makanan itu sendiri, tapi butuh latihan. Sama seperti bayi berproses untuk belajar makan. Mulai dari makan ASI yang begitu cair, berlanjut ke bubur yang konsistensinya lebih kental, lama kelamaan barulah mereka mampu makan makanan yang keras dengan menggunakan seluruh giginya. Pun demikian dengan akal budi, kalau bolak balik hanya diberi bubur, tak pernah diberi makanan utuh yang bisa dikunyah sendiri, kemampuan mencerna makanannya pun menjadi tumpul, sehingga alih-alih berpikir yang membutuhkan usaha keras, cukuplah baginya menelan bulat-bulat apapun makanan yang masuk ke akal budinya.

Anak-anak meminta roti, tapi kita beri mereka serbuk gergaji.
Anak-anak  membutuhkan ilmu yang melatih akal budi, tapi kita beri mereka ceramah yang tak henti henti.
Anak-anak punya akal budi sejak mereka lahir, tapi kita anggap mereka kertas putih sehingga kita mengemas pembelajaran dengan sedemikian mudah dan menyenangkan, karena kita tidak yakin mereka punya kemampuan untuk memahami.
Anak-anak punya hasrat belajar alami, tapi kita gegas mereka dengan ambisi berkompetisi.

Lantas, kalau anak sudah tak minat lagi belajar, kita bertanya-tanya bagaimana ya caranya supaya anak mau belajar?


Kuratif atau Preventif?

Jika pada tulisan sebelum ini saya membahas tentang bagaimana kita, manusia modern, seringkali menafikan pola hidup sehat dan hanya menuntut obat-obatan yang menghilangkan gejala saat kita sakit, pun begitu rasanya di dunia pendidikan. Isu kuratif selalu lebih sering menjadi bahan pembicaraan. Kita seringkali baru mau berpikir serius tentang masalah pendidikan saat masalah sudah datang bertubi-tubi. Gejala kecil seperti emosi yang meledak, ketidakmampuan untuk fokus, tidak bisa bertanya, gagal menjelaskan sesuatu yang ia pelajari, kita pikir hal biasa. Tak perlu ambil pusing, nanti juga bisa sendiri.

Tapi ibarat membiarkan sampah tak terbuang dan terus menambahnya setiap hari, gejala demi gejala bisa menumpuk dan kelak menjadi bom waktu yang kita tak pernah sangka kapan meledaknya. Mempelajari hukum alam dalam proses pendidikan ini memang berat, tapi ini ibarat usaha preventif yang membantu kita mengetahui proses seperti apa yang seharusnya dijalankan, bukan asal pilih teknis yang tampaknya menyenangkan. Karena hidup bukan melulu soal kesenangan, tapi sudahkah kita berjalan sesuai dengan hukum yang ada?


Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2