Menjalani Hidup yang Utuh
"Dulu aku pikir keajaiban itu tidak ada, tapi setelah kupikir pikir Tuhan sendiri adalah keajaiban..bahkan tubuh kita ini juga keajaiban" celoteh bungsu saya yang berumur 8 tahun baru-baru ini.

Saya jadi terhenyak. Teringat perkataan yang mengatakan bahwa tubuh ini merupakan sebuah mesin paling canggih yang pernah ada di bumi. Saking canggihnya jadi seperti sebuah keajaiban. Manusia seakan tak pernah selesai menelusuri bagaimana cara kerja mesin ini. Selalu ada penelitian terbaru, penemuan terbaru, metode terbaru, dan semacamnya terkait mesin ini. Dari hal besar seperti denyut jantung, sampai kotoran hidung rasanya semuanya memang sebuah kesatuan sistem yang ajaib!
Sayangnya, kita orang dewasa sudah terlalu terbiasa dengan semua ini sehingga kita menganggap hal ajaib ini sebagai sesuatu yang biasa. We take it for granted. Seolah oksigen yang masuk lewat lubang hidung dan memprosesnya dengan tim kerja pernafasan lainnya ini bukan sesuatu hal luar biasa yang bisa kita dapatkan. Seolah-olah kita bisa menggunakan tubuh ini sesuka hati kita dan mengabaikan segala kebenaran di dalamnya. Celoteh anak-anak yang masih polos seperti itu memang terdengar sederhana, tapi sejatinya mengajak kita (saya?) merefleksikan betapa kita tak bisa hanya menganggap enteng segala keajaiban ini.
Seperti yang saya alami saat ini. Dua minggu ini saya pusing kepala. Rasa pusing yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Segala rencana studi saya gagal karena si kepala tidak mau diajak kerjasama. Pusingnya kepala pun berimbas pada lemasnya badan. Belum lagi benak saya tak hentinya berpikir tentang apa penyebab pusing kepala saya. Berbagai spekulasi pun bermunculan, benak saya yang suka berimajinasi liar ini pun buru-buru membayangkan hal yang tidak-tidak. Segala aktifitas pun terganggu hanya karena pusing kepala yang tak jelas kenapa.
Hal ini jelas merupakan tamparan berat bagi saya, tak bisa saya abai pada tubuh ini. Nyatanya, satu bagian terkendala, seluruh bagian tubuh terdampak dan keseharian hidup jadi berantakan. Beruntung luar biasa bahwa dalam penderitaan ini saya dipertemukan dengan praktisi-praktisi kesehatan yang tidak asal mengobati gejala, namun mengajak saya untuk mengenal lebih jauh tentang sistem tubuh. Tuhan memang Maha Baik; tubuh saya diminta bereaksi memberi peringatan, namun Dia juga membukakan ruang ilmu untuk saya berefleksi.
Tak Hanya Jiwa
Dalam buku Consider This, Karen Glass mengatakan bahwa hal pertama yang harus dipertanyakan ketika kita memikirkan soal pendidikan itu bukan tentang bagaimana caranya, juga bukan tentang mengapa harus mendidik, tetapi : manusia itu apa?. Jawaban tentang hal ini akan menjadi fondasi kokoh dalam kita merumuskan metode pendidikan bagi anak-anak.
Pertanyaan tersebut selalu saya jawab dengan pernyataan bahwa manusia ini bukan sekedar makhluk biologis. Dalam hidup kita tidak hanya butuh makanan fisik, tapi juga makanan bagi jiwa. Sebab pertumbuhan bukan melulu soal fisik, tapi juga jiwa. Akan tetapi, seperti halnya fokus lensa kamera tele yang hanya berpusat pada satu titik dan mengaburkan benda-benda yang lain, jawaban saya itu seolah hanya mementingkan jiwa namun mengabaikan fisik. Saya sibuk memberi makan jiwa, namun sekedarnya dalam merawat fisik. Apapun makanan yang ada, makan saja agar tidak repot. Gerak fisik, cukuplah hanya dengan kegiatan harian, meluangkan waktu khusus untuk gerak fisik kok rasanya berat, jadwal yang ada saja sudah padat! Postur tubuh, cara menggerakkan anggota tubuh saat kita melakukan berbagai kegiatan, ya asal gerak saja sesuka bagaimana kita ingin, bukan berdasarkan bagaimana seharusnya. Dan begitulah seringkali saya menjalani hidup.
Namun karena tubuh ini bagian dari alam semesta, dan salah satu hukum alam semesta adalah kesetimbangan, diperlakukan semena-mena seperti itu pun ada batasnya. Ia pun bereaksi, menghadirkan sakit. Bukan karena azab, bukan karena kutukan keturunan, tapi ya karena kita sendiri yang abai mengusut tuntas soal tubuh ini apa dan bagaimana ia seharusnya diperlakukan.
Ya, barangkali pertanyaan soal : manusia itu apa?, bukan hanya perlu dijawab dari sisi spiritual tapi juga biologis. Bukan karena kita meyakini bahwa manusia itu hanya terdiri dari tubuhnya semata, namun justru dengan menjawab pertanyaan itu maka kita akan mampu melihat lebih jelas tentang proses kehidupan yang kita jalani. Sebab nyatanya, kita tidak bisa mementingkan aspek spiritual semata dan mengabaikan aspek biologis. My body is my temple. Tubuh adalah sarana kita mengabdi, pada entah apapun yang kita abdi.
Terry Wahls, seorang dokter dan saintis asal Amerika yang juga mantan penderita Multiple Sclerosis parah, mengatakan dalam bukunya The Wahls Protocol bahwa tubuh manusia merupakan kumpulan sel yang agar bisa bekerja dengan maksimal membutuhkan nutrisi. Tanpa nutrisi yang tepat, sel demi sel ini akan kehilangan fungsinya dan kemudian mati. Jika ternyata banyak sel dari tubuh kita yang rusak atau bahkan mati, tentu kerja tubuh juga tidak akan maksimal. Jadi, sudah tentu bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh ini menjadi hal yang super penting bagi keberlangsungan hidup para sel-sel ini.
Sayangnya sel-sel ini tidak tampak oleh mata kita. Yang terlihat hanyalah lidah sebagai indra perasa. Jadilah kerap kali ketika memilih makanan, kita mengabaikan kepentingan milyaran sel di dalam tubuh dan hanya mementingkan kebutuhan indra perasa ini. Sebab makanan yang enak memang memicu timbulnya hormon endorfin yang membuat kita bahagia. YOLO! You Only Live Once, buat apa hidup kalau bukan untuk mencari kebahagian. Begitu kan slogan hidup yang banyak beredar.
Tapi apa iya kehidupan hanya semata mencari kebahagiaan individu semacam itu? Bukankah kalau sel-sel itu rusak, kita juga menderita dan tidak bahagia? Bukankah kalau sel-sel banyak yang mati dan kita menderita, kita pun bisa gagal dalam meraih tujuan spiritual kita?

Parsial vs Utuh
Education is a science of relations. Pendidikan adalah sains tentang relasi. Bahwa antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain sesungguhnya saling terkait. Mempelajari geografi misalnya; membutuhkan imajinasi yang bisa didapat dari kebiasaan membaca buku yang hidup, kemampuan akurasi dari matematika, kebiasaan belajar di alam, dan lain-lain. Artinya selama ilmu itu masih berasal dari alam, dari bumi, maka semuanya masih merupakan satu kesatuan di bawah Sang Pencipta. Hanya mempelajari dan menekuni satu bidang saja secara spesifik, bisa berdampak pada minimal kebosanan. Sebaliknya, dengan mempelajari berbagai bidang ilmu, akan membantu pemelajar untuk merelasikan ilmu demi ilmu dan melihat gambaran besar dari berbagai fenomena. Begitu kredo pendidikan yang saya percayai.
Pun rasanya demikian dengan kesehatan. Tubuh jelas-jelas merupakan satu kesatuan yang saling terkait, namun seringkali diperlakukan secara parsial. Sakit kepala, beri obat sakit kepala. Demam, beri obat penurun panas. Sakit perut, beri obat sakit perut. Pilek beri obat pilek. Padahal kebanyakan sakit yang terasa tersebut hanya berupa gejala, dan bukan penyebab utamanya. Mengobati gejala memang sementara tampak sembuh, tapi selama akar persoalan tidak dicari dan diperbaiki, tentu gejala tersebut akan berulang dan berulang lagi.
Umumnya sebab-sebab sakit tak jauh dari gaya hidup. Seperti pusing kepala saya itu. Pola makan, kurang nutrisi, cara menatap layar atau berkegiatan lain yang banyak menunduk, posisi tidur, kurang sinar matahari, kurang gerak. Sama seperti pendidikan yang saling terkait, penyebab penyakit pun akhirnya tidak tunggal, saling terkait. Kalau sudah begini baru sadar kalau pola hidup sehat penting. Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Namun hal kuratif memang lebih seksi dibanding preventif. Usaha yang dikeluarkan tak sebanyak dengan usaha preventif. Tinggal bayar, selesai. Sebaliknya usaha preventif butuh will power - kekuatan kehendak yang besar, yang tidak bisa didapat hanya dengan membayar sejumlah uang. Butuh latihan terus menerus untuk menumbuhkan kehendak. Hidup seimbang, pilih makanan yang sehat, minum air yang cukup, olahraga, pelajari terus apa yang baik bagi tubuh - baik nutrisi maupun gerakan- karena sains terus berkembang, jangan stress, tidur cukup, sinari tubuh dengan matahari; semua hal-hal ini begitu mudah diucapkan tapi butuh kehendak besar untuk melakukan. Dan sesuatu yang butuh kehendak besar seperti ini jelas bukan isu seksi di dunia yang serba instan.
Ah, pada akhirnya pendidikan, kesehatan, manajemen, psikologi, dan beragam hal lain saling terkait dalam kita menjalani hidup. Visi saja tidak cukup - sebesar dan sebaik apapun visi hidup kita, butuh ilmu dan aksi demi aksi harian yang bolak balik direfleksikan. Fokus pada hal-hal yang parsial semata, seperti memakai lensa tele kamera tadi, membuat hal-hal lain menjadi kabur. Semua diperlukan, sebab mengabaikan satu hal bisa berdampak pada berkurangnya fungsi bagian lain. Maka jika pendidikan saja butuh dipelajari atau dijalani secara utuh - holistik, apalagi kehidupan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan. Hidup juga perlu dijalani secara utuh.
Comments
Post a Comment