Menemukan Aku, Kembali..

Delapan belas tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menikah — dan pelan-pelan meninggalkan karierku. Keputusan itu kuambil dengan sadar, meskipun saat itu aku memang sedang cukup lelah dalam berkarier. Waktu itu, aku merasa sudah punya tujuan hidup yang jelas. Lalu bertemu laki-laki baik hati dengan arah hidup yang sejalan. Jadi ya… kenapa tidak membina rumah tangga saja? Dan dari sana, lahirlah peran yang tak terhindarkan: menjadi ibu.

Aku tidak ingin punya anak hanya sebagai status. Kupikir, menghadirkan manusia ke dunia ini harus dibarengi dengan komitmen untuk membesarkannya. Itu sebabnya aku meninggalkan karierku — karena aku tahu, membesarkan anak bukan sesuatu yang bisa disambi.

Padahal sebenarnya aku juga menyukai karierku. Itu pun pilihan sadar yang sudah kupupuk sejak SMA, saat aku sudah tahu jurusan kuliah apa yang ingin kutekuni. Ketika akhirnya bekerja di bidang itu, aku menjalaninya dengan suka cita. Tapi ya, pekerjaanku memang menuntut jam panjang dan penuh friksi. Dan rasanya akan sangat melelahkan jika aku mencoba menjalaninya bersamaan dengan peran sebagai ibu.

Menjalani peran sebagai ibu juga menggairahkan. Ada banyak sekali tantangan di dalamnya, dan aku menikmatinya. Banyak masalah, iya, tapi ada banyak hal yang bisa kupelajari juga. Apalagi aku memutuskan untuk menghomeschoolingkan anak-anakku — semakin banyak tantangan, dan semakin banyak pula yang kupelajari. Selama ini pun aku belum pernah bosan menjalani peran ini. Hanya saja, di satu titik, aku merasa… kehilangan diriku sendiri.

Selama ini, isuku selalu tentang pendidikan. Meskipun tidak selalu tentang anak, kadang juga tentang pendidikan diri — tapi ya, tetap saja selalu terkait itu. Pekerjaanku pun masih berada di lingkup yang sama. Mengajar anak orang lain, atau mendampingi orangtua lain, seringkali memberiku rasa senang. Tapi entah kenapa, semuanya masih terasa sulit dipisahkan dari peranku sebagai ibu.

Barangkali ini tidak akan menjadi soal... seandainya aku tidak menyadari sesuatu akhir-akhir ini. Anak-anakku, yang dulu kecil dan menempel padaku, kini mulai beranjak dewasa. Mereka mulai punya dunia sendiri. Punya cinta sendiri. Dan aku mulai merasa ditinggalkan. Baru kali ini aku benar-benar merasakan betapa beratnya menjadi orangtua: kita memberikan segalanya, tapi semakin dewasa, mereka akan pergi menjalani hidupnya sendiri. Mungkin juga melupakan kita. Rasanya persis seperti cerita pohon di The Giving Tree.

Buatku, ini adalah pelajaran yang berat: belajar memberi tanpa berharap kembali. Belajar ikhlas, meski tak selalu berbalas. Aku jadi teringat lagu yang sering dinyanyikan anak-anak PAUD: "Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali." Rasanya... berat sekali untuk bisa sampai di titik itu. Mungkin inilah salah satu ujian menjadi manusia — belajar benar-benar ikhlas.

Makanya, di titik ini aku ingin mulai menemukan diriku kembali. Menggali ulang mimpi-mimpiku. Membangun kembali relasi dengan banyak hal — yang tak selalu harus tentang anak, atau tentang peranku sebagai ibu. Karena ibu juga manusia. Mengidentikkan diri hanya dengan satu peran saja… rasanya tidak menyehatkan.

Mengutip kata Charlotte Mason:

 Saat ini kita harus menghadapi anak sebagai manusia, yang punya hasrat alamiah untuk memahami sejarah ras dan bangsanya, pemikiran orang-orang terdahulu dan kontemporer, pemikiran-pemikiran terbaik dari benak-benak terbaik yang mewujud dalam literatur, dan puncaknya adalah puisi serta karya seni yang aneka wujudnya; menghadapi anak sebagai anak Allah, yang hasrat tertinggi dan kemuliaan sejatinya adalah punya pengetahuan dan mengenal Bapanya yang Mahakuasa: bahwa dia adalah pribadi dengan banyak bagian dan hasrat hati yang harus tahu cara memakai, merawat, dan mendisiplin diri sendiri, dalam tubuh, akal budi, maupun jiwa; anak sebagai pribadi yang punya banyak relasi––relasi dengan keluarga, kota, agama, negara, negara tetangga, dan dunia seluruhnya; anak sebagai penghuni bumi yang penuh dengan keindahan dan hal menarik, segala fiturnya mesti dia kenali dan beri nama, juga penghuni dunia, semesta, yang fungsi dari setiap bagiannya diatur oleh hukum-hukum yang dia harus mulai pelajari juga. 

Seandainya kata anak pada paragraf di atas diganti dengan kata ibu, rasanya masih relevan ya. Ibu juga manusia, yang butuh banyak relasi, butuh meningkatkan diri sebagai manusia.
Dan menyadari ini… aku merasa betapa kurangnya relasiku dengan semua hal besar tadi.
Aku, juga seorang pribadi — yang semestinya tetap punya ruang untuk mengenali dunia, mendekati puisi dan seni, berpikir bebas, mencintai pengetahuan, menjalin relasi dengan semesta, dan terutama mengenal Bapanya Yang Maha Kuasa.

Aku butuh ruang belajar, bukan sebagai alat, bukan sekadar pengasuh, tapi sebagai manusia utuh.





Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2