Museum Dewantara

Setelah selesai membaca biografi Ki Hajar Dewantara 1,5 tahun yang lalu, Taci memang ribut terus minta ke taman siswa. Bolak balik ke Jogja, ada aja yang bikin kami gagal main kesana. Nah akhirnya kali ini kami sempat juga mampir kesana. Kebetulan banget rabu minggu lalu saya baru saja ikutan kelas filsafat pendidikan nya Ki Hajar dan ketemu sama mantan murid beliau dan cicit beliau. Jadilah tema Ki Hajar ini masih hangat hangatnya di benak saya.
Taman Siswa tersebut ternyata sebuah kompleks yang cukup besar, terdapat sekolah tingkat TK, SD, SMP, museum, perpustakaan, cafe dan juga pendopo. Target utama kami tentu saja ke museumnya yang merupakan bekas tempat tinggal Ki Hajar dulu.

Kami beruntung karena pada saat kami datang sebenarnya museum tersebut sudah tutup, tapi karena tahu kami dari Jakarta, bapak pemegang kunci bersedia membukakan pintu untuk kami dan pemandu museumnya, Mas Drajat, juga belum pulang. Jadilah kami keliling museum dengan ditemani mereka beserta seorang petugas wanita.


Rumah tersebut hanya terbagi menjadi 5 ruangan kecil kecil dan ruang keluarga yang cukup besar. Ruangan pertama yang kami masuki adalah ruang keluarga tersebut, dimana berjejer foto foto keluarga Ki Hajar serta prinsip dasar taman siswa disana.Ada sebuah kursi yang sejak dahulu memang menjadi singasana favorit Ki Hajar. 

Masuk ke ruang kedua yakni teras rumah, mata saya langsung tertuju pada sebuah foto wanita bule berambut pirang. Maria Montessori. Tebak saya, dan ahh ternyata benaaaarr! (macam kuis apaan aja coba). Pas banget karena rabu kemarin pembicaraan kami di kelas filsafat juga mengenai pengaruh Montessori terhadap filosofi pendidikan Ki Hajar.

Menurut sang pemandu, kisah perkenalan Ki Hajar dengan Montessori berawal dari Nyi Hajar yang mengajar di sekolah Frobel karena mereka kekurangan uang saat tinggal di negeri Belanda. Disanalah terbukanya kesempatan Ki Hajar untuk bertemu dengan tokoh tokoh pendidikan, dimana Montessori adalah salah satunya. Banyak klaim yang menganggap bahwa pemikiran Ki Hajar mengenai pendidikan ini banyak dipengaruhi oleh Montessorri. Namun saat kelas filsafat pendidikan kemarin, dikatakan bahwa Montesorri lah yang justru dipengaruhi oleh Ki Hajar. Menurut dugaan saya mereka bersahabat lumayan dekat, sering berdiskusi, sehingga pada akhirnya pola pemikiran mereka saling mempengaruhi.

Nah di teras rumah ini juga terdapat telepon putar dan telepon yang masih berbentuk seperti toa. Sang pemandu bercerita bahwa pada zaman itu belum banyak orang yang memiliki telepon, sehingga Ki Hajar meletakkan telepon tersebut di teras rumahnya dengan harapan telepon tersebut bisa berguna bagi banyak orang, bukan hanya bagi dirinya serta keluarganya. Ah ya, salah satu ciri khas pejuang.. menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.

Berlanjut ke ruangan berikutnya terpampang piano yang biasa dimainkan Ki Hajar dulu, juga alat pemutar musik yang memainkan tembang tembang yang biasa dinyanyikan murid murid Taman Siswa jaman dulu. Sinkron sekali dengan cerita Pak Yaya, salah satu murid Ki Hajar yang hadir bercerita tentang kelas filsafat pendidikan nya Ki Hajar pekan lalu. Menurut beliau, bentuk bentuk pengajaran dalam kelas di Taman Siswa memang kerap kali dikemas dalam lagu, tarian, aksi teatrikal serta jenis kesenian lain. 

Tujuan dari banyaknya bentuk kesenian ini bukan semata untuk mendidik anak anak agar kelak menjadi seniman, tapi lebih kepada mengolah jiwa mereka. Sebab sama seperti tubuh, jiwa juga membutuhkan makanan yang variatif. Jadi bukan hanya butuh pengetahuan, tapi juga kesenian dan tentunya muatan spiritual. Hal ini senada dengan tujuan pembelajaran kesenian yang digagas Charlotte Mason, perumus metode pendidikan yang saya ikuti, bahwa sebagai bagian dari kurikulum yang kaya kesenian merupakan menu wajib bagi makanan pelengkap jiwa.

Tiga ruangan kecil berikutnya adalah kamar tidur Ki Hajar dan istrinya, kamar tidur anaknya dan kamar tidur Ki Hajar di kala sedang lembur. Lucu rasanya mendengar bahwa Ki Hajar memiliki kamar tidur sendiri manakala ia tengah memiliki banyak tulisan yang harus diselesaikan. Alasannya sederhana saja, saat menulis beliau menggunakan mesin ketik yang sangat berisik jadi ia tidak mau mengganggu istrinya. Mesin ketik itu juga masih ada di ruangan tersebut. Taci dan Tara sempat mencobanya dan mengatakan bahwa sungguh sulit menggunakan mesin ketik itu. Ah ya tentu saja ya, anak zaman now.
Ohya yang menarik mata saya, di ruangan tersebut juga ada buku agenda yang bertuliskan rencana kegiatan kegiatan beliau serta pengalaman pengalaman singkatnya. Hmmm, sayangnya beliau menulisnya dalam bahasa Belanda jadi saya tidak mengerti apa saja yang ditulisnya disana. Namun kesimpulan saya, orang besar memang selalu mengorganisir kegiatannya dengan baik ya. Contoh yang bagus!

Overall, pergi ke museum ini lumayan bermakna, sebab selain mempelajari hal-hal yang tak kasat mata tentang perjuangan Ki Hajar, mengetahui dan melihat langsung hal-hal yang kasat matanya membuat kita jadi bisa merelasikan keduanya. Saya juga semakin tertarik untuk mendalami pemikiran - pemikiran Ki Hajar, semoga kelak berjodoh dengan buku - buku asli karangan beliau. 




Comments

  1. Merinding bacanya, bundayu.
    Dari Maria Montesorri sampe Charlotte Mason. Jd makin tertarik sama filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2