Kekurangan Waktu

Alkisah di suatu kota yang damai, para penduduknya senang menghabiskan waktu  untuk bercengkrama dan saling memperhatikan satu sama lain. Meski tidak berlimpah materi dan hidup di kota kecil yang sederhana, namun mereka bahagia. Seringkali mereka menghabiskan senja bersama sembari memperhatikan anak-anak mereka bermain. Akan tetapi suatu hari, sekelompok pria berbaju abu-abu diam-diam mencatat segala kegiatan mereka dan kemudian mendatangi para penduduk kota satu per satu. Para pria berbaju abu-abu ini membeberkan betapa hidup penduduk kota itu sia-sia karena banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting.

Definisi tidak penting yang dibeberkan oleh pria berbaju abu-abu ini adalah segala aktivitas yang tidak produktif, seperti bercengkrama dengan tetangga, merawat orang yang sakit, anak-anak bermain tanpa "konten edukatif", mendengarkan ocehan orang tua, dan lain sebagainya. Menurut para pria berbaju abu-abu ini, waktu yang hanya 24 jam sehari ini sebaiknya jangan sampai terbuang percuma. Segala hal yang dilakukan haruslah bertujuan untuk membangun nilai-nilai materil yang mampu membuat mereka lebih sejahtera.

Para penduduk kotapun terperdaya, mereka menjadi percaya bahwa kesejahteraan akan bisa tercapai jika mereka memiliki materi yang cukup. Mereka pun berpacu dengan waktu, bekerja semakin keras agar semakin banyak yang menghasilkan materi hingga merekapun saling melupakan. Mereka lupa untuk bercengkrama dengan para sahabat, mereka lupa memperhatikan anak serta orangtua mereka, mereka tak mau lagi duduk manis menghabiskan sore dengan memandang langit senja; sebab hal-hal semacam itu diperhitungkan sebagai sesuatu yang hanya buang-buang waktu.

Demikian latar belakang cerita karangan Michael Ende yang berjudul Momo. Sudah lama anak saya menyodorkan buku itu untuk saya baca, tapi saya kerap menundanya hingga kemarin saat akhirnya sempat, saya pun cukup terperangah dengan ceritanya. Kenapa rasanya mirip sekali dengan situasi masa kini yang dibandingkan dengan beberapa dekade lalu ya?

Dulu, menjalani hidup rasanya sulit sekali. Nenek kakek kita harus pergi ke sumur dan menimba air setiap kali mereka mau mandi atau memasak. Tak ada mesin cuci atau pengering pakaian, sehingga mencuci harus dilakukan dengan tangan sendiri. Tak ada kompor gas yang tinggal putar, jika ingin memasak harus cari kayu bakar terlebih dahulu. Namun, mereka hidup bahagia dengan sistem sosial kemasyarakatan yang sangat erat. Mereka saling mengunjungi  jika ada yang sakit, saling membantu jika ada hajatan, saling pinjam meminjam jika kekurangan, saling memberi jika ada yang membutuhkan, saling tolong menolong serta banyak hal lain yang mereka lakukan bersama.

Namun kini, dengan teknologi yang semakin canggih, di mana keseharian bisa dengan mudah dilakukan karena banyak mesin yang membantu, kenapa kebanyakan dari kita justru merasa tak punya cukup waktu untuk melakukan hal-hal tersebut? Individualisme berkembang pesat, sistem sosial kemasyarakatan yang erat perlahan memudar, pekerjaan yang dilakukan bukan semakin sedikit malah semakin banyak, namun waktu tidak bertambah sehingga sulit rasanya menyesaki banyaknya hal yang perlu dilakukan ke dalam selokan-selokan waktu ini.




Banjir Informasi

Informasi barangkali memegang peranan penting dalam hal pengaturan waktu ini. Pada era sebelum teknologi informasi merajalela, informasi yang didapatkan masyarakat sangat terbatas. Umumnya mereka hanya mengetahui hal-hal yang sifatnya lokal, pengetahuan pun sangat minim, maka berkembang pun menjadi lebih sulit. Jika diukur secara materi, maka kurangnya informasi ini membuat produksi menjadi sedikit. Tingkat ekonomi dan kualitas hidup (secara materi) menjadi rendah. Namun ada hal baik yang mereka mampu lakukan dalam kondisi demikian. Mereka mampu fokus pada pekerjaan mereka dengan baik tanpa terdistraksi informasi-informasi yang begitu banyak. Keakraban komunitas pun sangat terasa karena hubungan antar manusia terjadi tanpa distraksi berarti.

Sekarang, di mana informasi begitu mudah didapatkan yang terjadi adalah kebalikannya. Laju pertumbuhan ekonomi begitu pesat karena informasi dan pengetahuan mudah didapat. Nyaris tak ada lagi orang mati kelaparan, angka gizi buruk berkurang, banyak penyakit mampu ditanggulangi, komunikasi antar komunitas manusia mengalir dengan lebih mudah, dan lain sebagainya. Namun, banyaknya informasi ini juga memiliki dampak buruk; waktu salah satunya.

Banjir informasi membuat kita sulit untuk fokus pada hal mana yang sebenarnya paling perlu kita lakukan. Kita kecanduan informasi hingga kita memilih duduk menerimanya tanpa sadar kita kehabisan waktu untuk melakukan aksi sebagai tindak lanjut dari informasi yang kita dapat. Atau sebaliknya, banyaknya informasi membuat kita ingin melakukan banyak hal sehingga kita tergoda untuk berlomba dengan waktu alih alih bersahabat dengannya. Buntutnya, kita mencoba melakukan sebanyak mungkin pekerjaan, mengerjakan beberapa hal secara bersamaan demi memenuhi ambisi kita menjadi super human. Sebab di era yang sangat kompetitif ini, agaknya menjadi manusia yang biasa saja adalah hal yang tidak normal.


Mitos Multitasking

Akibat ambisi untuk mampu melakukan banyak hal ini, kita kerap kali memaksakan diri melakukan banyak hal secara bersamaan. Menanggapi  hal ini, David Meyer, seorang profesor psikologi dari Univeristy of Michigan, menyebutkan bahwa melakukan beberapa tugas secara bersamaan - multitasking- mungkin tampak seperti sebuah efisiensi waktu; ini benar jika seseorang memiliki lebih dari satu otak. Namun nyatanya manusia hanya memiliki satu otak sehingga mengerjakan beberapa hal secara bersamaan sebenarnya membuang-buang waktu dan mengurangi kualitas kerja.

"Tuntutan pekerjaan yang banyak akan memompa adrenalin dari dalam tubuh, yang akan membuat seseorang merasa cemas, sehingga ya multitasking akan membuat seseorang menjadi lebih cepat stress," tambahnya.

Bahkan dalam jangka panjang, kebiasaan multitasking akan membuat seseorang sulit untuk fokus mengerjakan satu hal; yang ini berarti sulit juga menghasilkan produk yang jelas dari sebuah pekerjaan.  (baca lengkapnya di sini )

Mencari contoh korban multitasking ini barangkali tidak perlu jauh-jauh, cukup bagi saya memandang kaca. Multitasking merupakan hal yang bisa dengan bangga saya lakukan. Saya bisa memasak sambil mencuci dan menyapu. Saya bisa ikut sebuah rapat online sembari mengetik dan bermain games. Saya bisa menemani anak belajar sekaligus mengecek sosial media dan membaca buku. Namun agaknya kemampuan multitasking ini membuat saya jumawa tanpa menambah perbendaharaan karya yang bisa saya hasilkan. Buku yang hanya sebagian dibaca berderet dengan rapi, tulisan yang terbengkalai semakin menumpuk, cara mengajar tak kunjung membaik, pe-er membenahi karakter diri dan anak-anak pun semakin banyak, bahkan pikiran demi pikiran seringkali berkeliaran dalam benak saya tanpa bisa saya kendalikan.




Saya barangkali tidak sendiri. Banyak orang di dunia ini yang juga tenggelam dalam banjir informasi sehingga dengan impulsif mencoba melakukan semuanya. Merasa multitasking menjadi keahliannya namun tanpa sadar kehilangan banyak waktu untuk hal hal yang 'tidak penting' secara produktivitas. Akibatnya hal-hal imateril jadi tidak dipandang perlu. Hal yang memanjakan mata jadi segalanya.

Pada akhirnya kita memang perlu merenungkan kembali apa yang sebenarnya kita anggap penting, menata prioritas hidup kita, bolak balik mengecek konsistensi antara visi dan keseharian, serta bersyukur atas apa yang sudah berlalu. Kita (eh maksudnya saya!) barangkali seringkali berpikir untuk mengubah dunia tapi kemudian lupa untuk berbenah diri. Tenggelam dalam waktu sehingga lupa merenungi tentang apa yang sebenarnya kita cari. Mengejar hal-hal besar namun kehilangan rasa terhadap hal kecil di sekitar kita. Merasa cukup kuat untuk berbuat sesuatu namun lupa bahwa sejatinya tak ada yang berkuasa mengubah kondisi dunia selain Dia yang menciptanya.


Comments

  1. Salam Mba Ayu,
    saya Lily.saat ini membaca artikel Mba Ayu tentangmultitasking / kekurangan waktu dan kecemasan yang berlebih. sampai saat ini itu saya banget...Ditambah kondisiCOVID saat ini yang mengakibatkan anak di rumah ,orangtua harus mencari pendapatan lebih, ayah yang juga tak ada pekerjaan, sehingga saya sebagai ibu pontang panting melakukan hal yang nampaknya ilmu tingkat tinggi yaitu multitasking, dan ternyta semuanya malah berantakan. hati tidak nyaman, cemas melanda, anak tidak terurus dan sebainya.. Terimakasih refleksinya Mba Ayu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2