Memilih Untuk Tidak Memilih
"Ya abis gimana, gue nggak punya pilihan lagi!"
Seberapa sering kita mendengar pernyataan semacam itu? Ada kalanya memang kita berada di dalam situasi yang rasanya mau tidak mau harus kita jalani, meski rasanya hati ingin memilih pilihan lain tapi kondisi sangat tidak memungkinkan. Kita lantas bertanya-tanya, mengapa Tuhan memberi jalan semacam ini? Lalu terjebak dalam situasi yang mengasihani diri sendiri, seolah menjadi orang paling menderita di dunia.
Seperti yang dialami seorang kerabat saya, sebut saja namanya Anggrek (karena nama Mawar sudah terlalu banyak disebut). Ia terjebak dalam kondisi menikah dengan seseorang yang kerap kali menjadikannya sebagai korban kekerasan. Sang suami suka menipu dan memiliki hutang di mana-mana. Seringkali pulang dalam keadaan mabuk dan kemudian memukulinya. Kami, para kerabatnya, sudah seringkali memintanya untuk keluar dari institusi pernikahan semacam itu. Mulai dari mempertemukannya dengan seorang pengacara, dukun, bahkan mencarikan jodoh lain untuknya. Namun ia tak pernah berani untuk meninggalkan suaminya itu.
"Sudahlah ya, barangkali memang jalan hidupku seperti ini. Aku sudah tidak punya pilihan lain" begitu katanya.
Kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan gigit jari melihatnya menderita seperti itu. Belakangan bahkan ia tak lagi bercerita kepada kami karena ia diancam suaminya untuk tidak bercerita macam-macam pada orang lain. Jadi alih-alih berani berbuat sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya, ia memilih untuk tunduk pada ancaman tersebut.
Apakah ini berarti ia tidak punya pilihan? Apakah benar, tidak ada pilihan itu ada?
Pertarungan Otoritas
"Tidak ada pilihan itu terkadang ada, seperti bayi misalnya, ia tidak bisa memilih karena orangtuanya lah yang memilihkan segala sesuatu untuknya" bantah seorang kawan saya dalam sebuah perdebatan mengenai apakah tidak ada pilihan itu ada atau tidak.
Saya tercenung sesaat sebelum akhirnya teringat terhadap kasus-kasus ibu yang gagal menyusui dengan alasan bayinya tidak mau menyusu. Atau ketika seorang anak sedang belajar makan dan kemudian orangtuanya berkata bahwa anak itu menolak makanan tertentu. Bukankah pada kasus-kasus tersebut sang anak menunjukkan kemampuannya untuk memilih?
Saat seorang bayi diletakkan di dada ibunya sesaat sesudah ia dilahirkan, dalam proses Inisiasi Menyusui Dini, ia bahkan bisa memilih untuk bergerak ke arah puting susu ibunya - terlepas dari segala ketidakmampuannya untuk mengkoordinasikan gerak tubuhnya dengan keinginan alaminya. Sementara pada kasus lain, ada juga bayi yang menolak disusui dan menguji otoritas orangtuanya.
Otoritas? Ya, pada kasus pilihan seperti ini selalu ada pihak yang memiliki otoritas lebih dibanding yang lain. Dalam kasus bayi menolak menyusu misalnya, manakala orangtuanya segera sadar bahwa ialah yang memiliki otoritas, maka ia akan dengan segera mengambilnya dan dengan segala cara membuat anaknya menyusu. Namun jika otoritas orangtua lemah, maka ia akan taat saja pada kemauan si bayi.
Alasan yang sama terjadi pada kasus Anggrek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Suaminya jelas memiliki otoritas yang lebih besar daripadanya, dan ia takluk di bawah otoritas suaminya. Ia tidak memiliki cukup otoritas terhadap dirinya sendiri sehingga bahkan untuk mengatakan bahwa ia memiliki pilihan lain saja ia tidak mampu.
Lantas, apakah orang-orang yang bahkan kalah telak dalam pertarungan otoritas ini berarti memang tidak punya pilihan?
Pilihan Menerima
Salah satu korban kekejian Nazi, Viktor Frankl, menceritakan dalam bukunya Man's Search For a Meaning tentang bagaimana kondisi di kamp-kamp konsentrasi. Cerita tentang betapa tidak manusiawinya perlakuan Nazi terhadap Yahudi barangkali sudah sering didengar, namun Frankl juga bercerita tentang banyaknya orang yang mengakhiri hidupnya karena berpikir bahwa mereka tidak lagi mempunyai pilihan. Sulit memang rasanya menyadari bahwa pilihan itu ada saat seluruh jiwa dan raga disiksa semacam itu. Pemandangan yang dilihat setiap hari hanya kekerasan dan kematian, harapan bukan suatu kata yang mungkin terlintas.
Para korban Nazi ini jelas merupakan orang-orang yang kalah telak dalam pertarungan otoritas. Jangankan otoritas batin, otoritas fisik saja mereka sudah tidak punya. Namun Frankl masih melihat ada pilihan yang mampu membuat dirinya bertahan,tidak ikut-ikutan bunuh diri seperti teman-temannya. Pilihan tersebut adalah untuk menerima saja kondisi yang ia alami, berdamai dengan batinnya, serta fokus kembali pada tujuan hidupnya; yakni menebar manfaat. Di tengah segala kekejian di luar batas normal yang dialaminya, ia kemudian masih bisa membantu teman-temannya untuk menemukan tujuan hidup mereka. Sebab tanpa tujuan hidup yang jelas, orang akan terus menerus merasa menjadi korban dan kehilangan otoritas diri.
Menerima memang sebuah pilihan. Saat berjuang untuk keluar dari suatu kondisi tidak memungkinkan, sesungguhnya kitapun masih memiliki pilihan untuk menerima atau menyangkal. Penyangkalan dan penyesalan menciptakan mentalitas korban dan tidak akan mengubah kondisi sedikitpun. Namun menerima, seperti yang dicontohkan Frankl, membuat sudut pandang berubah dan memberi kekuatan untuk melakukan hal-hal lain yang di luar dugaan.
Sebagai pembaca yang telah memilih membaca tulisan ini sampai selesai, anda juga masih punya pilihan berikutnya untuk percaya pada tulisan ini atau tidak! Coz yes, life is a matter of choice!
Seberapa sering kita mendengar pernyataan semacam itu? Ada kalanya memang kita berada di dalam situasi yang rasanya mau tidak mau harus kita jalani, meski rasanya hati ingin memilih pilihan lain tapi kondisi sangat tidak memungkinkan. Kita lantas bertanya-tanya, mengapa Tuhan memberi jalan semacam ini? Lalu terjebak dalam situasi yang mengasihani diri sendiri, seolah menjadi orang paling menderita di dunia.
Seperti yang dialami seorang kerabat saya, sebut saja namanya Anggrek (karena nama Mawar sudah terlalu banyak disebut). Ia terjebak dalam kondisi menikah dengan seseorang yang kerap kali menjadikannya sebagai korban kekerasan. Sang suami suka menipu dan memiliki hutang di mana-mana. Seringkali pulang dalam keadaan mabuk dan kemudian memukulinya. Kami, para kerabatnya, sudah seringkali memintanya untuk keluar dari institusi pernikahan semacam itu. Mulai dari mempertemukannya dengan seorang pengacara, dukun, bahkan mencarikan jodoh lain untuknya. Namun ia tak pernah berani untuk meninggalkan suaminya itu.
"Sudahlah ya, barangkali memang jalan hidupku seperti ini. Aku sudah tidak punya pilihan lain" begitu katanya.
Kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan gigit jari melihatnya menderita seperti itu. Belakangan bahkan ia tak lagi bercerita kepada kami karena ia diancam suaminya untuk tidak bercerita macam-macam pada orang lain. Jadi alih-alih berani berbuat sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya, ia memilih untuk tunduk pada ancaman tersebut.
Apakah ini berarti ia tidak punya pilihan? Apakah benar, tidak ada pilihan itu ada?
Pertarungan Otoritas
"Tidak ada pilihan itu terkadang ada, seperti bayi misalnya, ia tidak bisa memilih karena orangtuanya lah yang memilihkan segala sesuatu untuknya" bantah seorang kawan saya dalam sebuah perdebatan mengenai apakah tidak ada pilihan itu ada atau tidak.
Saya tercenung sesaat sebelum akhirnya teringat terhadap kasus-kasus ibu yang gagal menyusui dengan alasan bayinya tidak mau menyusu. Atau ketika seorang anak sedang belajar makan dan kemudian orangtuanya berkata bahwa anak itu menolak makanan tertentu. Bukankah pada kasus-kasus tersebut sang anak menunjukkan kemampuannya untuk memilih?
Saat seorang bayi diletakkan di dada ibunya sesaat sesudah ia dilahirkan, dalam proses Inisiasi Menyusui Dini, ia bahkan bisa memilih untuk bergerak ke arah puting susu ibunya - terlepas dari segala ketidakmampuannya untuk mengkoordinasikan gerak tubuhnya dengan keinginan alaminya. Sementara pada kasus lain, ada juga bayi yang menolak disusui dan menguji otoritas orangtuanya.
Otoritas? Ya, pada kasus pilihan seperti ini selalu ada pihak yang memiliki otoritas lebih dibanding yang lain. Dalam kasus bayi menolak menyusu misalnya, manakala orangtuanya segera sadar bahwa ialah yang memiliki otoritas, maka ia akan dengan segera mengambilnya dan dengan segala cara membuat anaknya menyusu. Namun jika otoritas orangtua lemah, maka ia akan taat saja pada kemauan si bayi.
Alasan yang sama terjadi pada kasus Anggrek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Suaminya jelas memiliki otoritas yang lebih besar daripadanya, dan ia takluk di bawah otoritas suaminya. Ia tidak memiliki cukup otoritas terhadap dirinya sendiri sehingga bahkan untuk mengatakan bahwa ia memiliki pilihan lain saja ia tidak mampu.
Lantas, apakah orang-orang yang bahkan kalah telak dalam pertarungan otoritas ini berarti memang tidak punya pilihan?
Pilihan Menerima
Salah satu korban kekejian Nazi, Viktor Frankl, menceritakan dalam bukunya Man's Search For a Meaning tentang bagaimana kondisi di kamp-kamp konsentrasi. Cerita tentang betapa tidak manusiawinya perlakuan Nazi terhadap Yahudi barangkali sudah sering didengar, namun Frankl juga bercerita tentang banyaknya orang yang mengakhiri hidupnya karena berpikir bahwa mereka tidak lagi mempunyai pilihan. Sulit memang rasanya menyadari bahwa pilihan itu ada saat seluruh jiwa dan raga disiksa semacam itu. Pemandangan yang dilihat setiap hari hanya kekerasan dan kematian, harapan bukan suatu kata yang mungkin terlintas.
Para korban Nazi ini jelas merupakan orang-orang yang kalah telak dalam pertarungan otoritas. Jangankan otoritas batin, otoritas fisik saja mereka sudah tidak punya. Namun Frankl masih melihat ada pilihan yang mampu membuat dirinya bertahan,tidak ikut-ikutan bunuh diri seperti teman-temannya. Pilihan tersebut adalah untuk menerima saja kondisi yang ia alami, berdamai dengan batinnya, serta fokus kembali pada tujuan hidupnya; yakni menebar manfaat. Di tengah segala kekejian di luar batas normal yang dialaminya, ia kemudian masih bisa membantu teman-temannya untuk menemukan tujuan hidup mereka. Sebab tanpa tujuan hidup yang jelas, orang akan terus menerus merasa menjadi korban dan kehilangan otoritas diri.
Menerima memang sebuah pilihan. Saat berjuang untuk keluar dari suatu kondisi tidak memungkinkan, sesungguhnya kitapun masih memiliki pilihan untuk menerima atau menyangkal. Penyangkalan dan penyesalan menciptakan mentalitas korban dan tidak akan mengubah kondisi sedikitpun. Namun menerima, seperti yang dicontohkan Frankl, membuat sudut pandang berubah dan memberi kekuatan untuk melakukan hal-hal lain yang di luar dugaan.
Sebagai pembaca yang telah memilih membaca tulisan ini sampai selesai, anda juga masih punya pilihan berikutnya untuk percaya pada tulisan ini atau tidak! Coz yes, life is a matter of choice!
Comments
Post a Comment