Mengubah Budaya
Pagi tadi, seorang kawan kami memberi kabar tentang kehamilannya yang sudah memasuki usia 16 minggu. Ia baru saja divonis tidak akan bisa melahirkan secara normal karena plasentanya menutupi jalan rahim. Kontan saja saya dan teman-teman yang sedang berkumpul saat mendengar kabar ini mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin vonis semacam itu diberikan di usia kandungan yang masih begitu dini? Mengingat masih banyaknya waktu, bukankah kemungkinan untuk si plasenta berpindah tempat itu masih ada? Atau kalaupun sebenarnya secara medis sudah tidak mungkin berubah, tidakkah seorang dokter selayaknya membesarkan hati pasiennya sembari tetap berharap pada kekuatan sugesti?
Pembicaraan kami pun berlanjut tentang kasus demi kasus yang pernah kami terima sebagai objek industri kesehatan. Mudah sekali rasanya para dokter itu memberi vonis operasi atau segepok obat tanpa penegakkan diagnosa. Rasanya berbeda dengan dokter-dokter zaman dahulu yang bisa begitu telaten menghadapi pasien, menganalisa kondisi pasien dengan seksama, atau sekedar memberikan kata-kata pembangkit semangat. Yah, walaupun tidak semua dokter baru tidak telaten, dan tidak semua dokter lama telaten, tapi kecendurungan budaya menjadikan pasien tak ubahnya sebagai objek rasanya semakin besar.
"Ini kan sama aja kayak guru yang belum apa-apa sudah mengatakan muridnya bodoh dan tidak mungkin berubah" kata teman saya yang memiliki sebuah lembaga pendidikan. Kebetulan sebelumnya ia baru saja bercerita tentang proyeknya mendidik guru-guru di tempatnya agar mampu memperhatikan hal-hal kecil yang selama ini dianggap tidak berarti dalam proses pengajaran. Hal-hal seperti cara berpakaian, cara berbasa-basi, kontak mata dan puluhan hal kecil lainnya yang seharusnya lumrah dilakukan tapi sudah dilupakan oleh banyak guru sekarang, sehingga ia sampai merasa perlu dibuatkan sesi-sesi khusus untuk mengajarkan hal semacam itu.
Sungguh sebuah kesamaan manis antara praktik kerja dokter dan guru yang kami sandingkan dalam pembicaraan kami tadi. Dan barangkali bukan hanya 2 profesi ini, banyak profesi lain yang hari ini sudah tidak lagi ditekuni sebagai sarana menjadi saluran berkat, namun sekedar sarana meraih materi. Tujuan yang bergeser ini rasanya memberi dampak besar pada bagaimana kita memperlakukan klien/pasien/murid kita, we don't see them as a person anymore. Kita hanya melihat mereka sebagai sebuah objek industri.
Untuk mengubah sistem semacam ini, menetapkan tujuan yang benar menjadi sebuah langkah awal yang penting untuk dilakukan. Akan tetapi, cukupah sekedar menetapkan tujuan saja?
Sebagai seorang pengajar komersil yang menyadari tujuan saya mengajar, saya juga masih memiliki segunung dosa pada murid-murid saya. Meski mengajar adalah pilihan yang saya lakukan dengan sukacita, namun seringkali rutinitas harian yang sama dari waktu ke waktu membuat saya kehilangan rasa akan proses mengajar itu sendiri. Akibatnya, kalau kebosanan itu datang melanda, saya pun mengajar seadanya dan menjadikan murid-murid saya tak ubahnya objek. Padahal saya tahu persis, setiap kali saya mengajar seadanya, saya tidak bahagia. Dan saat saya tidak bahagia mengajar, mana mungkin murid-murid saya belajar dengan bahagia. Pendidikan adalah atmosfer.
Berkaca pada pengalaman sendiri membuat saya akhirnya terpikir bahwa tidak semudah itu menilai individu yang menjabat sebuah profesi. Selain kenyataan bahwa dokter atau guru juga manusia yang bisa bosan, juga fakta bahwa kita semua terikat dalam sistem sosial kemasyarakatan. Kita manusia memang selalu memiliki kecenderungan untuk mengikuti budaya yang sudah ada. Menjadi berbeda dari sistem atau budaya yang sudah ada rasanya memang berat dan mustahil dilakukan secara individual.
"Kenapa harus berlelah-lelah menanyai pasien dengan seksama kalau semua rekan sejawat saya juga asal kasi resep? Toh pasien gembira dengan resep yang saya berikan"
"Kenapa harus memperhatikan perkembangan murid jika yang orangtuanya minta hanya nilai yang bisa saya karang dengan mudah?"
"Apa saya salah berbuat begitu, kan teman-teman saya juga semuanya begitu?"
Sebuah sistem atau budaya memang harus dilawan dengan sebuah budaya atau sistem yang baru. Namun menggantinya juga tidak semudah membalik telapak tangan, butuh innovator yang tak kenal lelah merumuskan sistem baru dan menghadapi banyak kegagalan. Butuh para early adopters yang rela menjadi berbeda dari kebanyakan orang dan dicaci karena perubahan yang dilakukannya. Hingga lama kelamaan akan muncul para early majority dan late majority yang juga mau mengganti budaya lama dengan budaya baru yang lebih sehat. Begitu setidaknya teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Everett Rogers (1962)
Masalahnya, siapa yang mau menjadi innovator dan kemana harus mencari para early adopter?
Apakah harus lari ke hutan belok ke pantai?
Pembicaraan kami pun berlanjut tentang kasus demi kasus yang pernah kami terima sebagai objek industri kesehatan. Mudah sekali rasanya para dokter itu memberi vonis operasi atau segepok obat tanpa penegakkan diagnosa. Rasanya berbeda dengan dokter-dokter zaman dahulu yang bisa begitu telaten menghadapi pasien, menganalisa kondisi pasien dengan seksama, atau sekedar memberikan kata-kata pembangkit semangat. Yah, walaupun tidak semua dokter baru tidak telaten, dan tidak semua dokter lama telaten, tapi kecendurungan budaya menjadikan pasien tak ubahnya sebagai objek rasanya semakin besar.
"Ini kan sama aja kayak guru yang belum apa-apa sudah mengatakan muridnya bodoh dan tidak mungkin berubah" kata teman saya yang memiliki sebuah lembaga pendidikan. Kebetulan sebelumnya ia baru saja bercerita tentang proyeknya mendidik guru-guru di tempatnya agar mampu memperhatikan hal-hal kecil yang selama ini dianggap tidak berarti dalam proses pengajaran. Hal-hal seperti cara berpakaian, cara berbasa-basi, kontak mata dan puluhan hal kecil lainnya yang seharusnya lumrah dilakukan tapi sudah dilupakan oleh banyak guru sekarang, sehingga ia sampai merasa perlu dibuatkan sesi-sesi khusus untuk mengajarkan hal semacam itu.
Sungguh sebuah kesamaan manis antara praktik kerja dokter dan guru yang kami sandingkan dalam pembicaraan kami tadi. Dan barangkali bukan hanya 2 profesi ini, banyak profesi lain yang hari ini sudah tidak lagi ditekuni sebagai sarana menjadi saluran berkat, namun sekedar sarana meraih materi. Tujuan yang bergeser ini rasanya memberi dampak besar pada bagaimana kita memperlakukan klien/pasien/murid kita, we don't see them as a person anymore. Kita hanya melihat mereka sebagai sebuah objek industri.
Untuk mengubah sistem semacam ini, menetapkan tujuan yang benar menjadi sebuah langkah awal yang penting untuk dilakukan. Akan tetapi, cukupah sekedar menetapkan tujuan saja?
Sebagai seorang pengajar komersil yang menyadari tujuan saya mengajar, saya juga masih memiliki segunung dosa pada murid-murid saya. Meski mengajar adalah pilihan yang saya lakukan dengan sukacita, namun seringkali rutinitas harian yang sama dari waktu ke waktu membuat saya kehilangan rasa akan proses mengajar itu sendiri. Akibatnya, kalau kebosanan itu datang melanda, saya pun mengajar seadanya dan menjadikan murid-murid saya tak ubahnya objek. Padahal saya tahu persis, setiap kali saya mengajar seadanya, saya tidak bahagia. Dan saat saya tidak bahagia mengajar, mana mungkin murid-murid saya belajar dengan bahagia. Pendidikan adalah atmosfer.
Berkaca pada pengalaman sendiri membuat saya akhirnya terpikir bahwa tidak semudah itu menilai individu yang menjabat sebuah profesi. Selain kenyataan bahwa dokter atau guru juga manusia yang bisa bosan, juga fakta bahwa kita semua terikat dalam sistem sosial kemasyarakatan. Kita manusia memang selalu memiliki kecenderungan untuk mengikuti budaya yang sudah ada. Menjadi berbeda dari sistem atau budaya yang sudah ada rasanya memang berat dan mustahil dilakukan secara individual.
"Kenapa harus berlelah-lelah menanyai pasien dengan seksama kalau semua rekan sejawat saya juga asal kasi resep? Toh pasien gembira dengan resep yang saya berikan"
"Kenapa harus memperhatikan perkembangan murid jika yang orangtuanya minta hanya nilai yang bisa saya karang dengan mudah?"
"Apa saya salah berbuat begitu, kan teman-teman saya juga semuanya begitu?"
Sebuah sistem atau budaya memang harus dilawan dengan sebuah budaya atau sistem yang baru. Namun menggantinya juga tidak semudah membalik telapak tangan, butuh innovator yang tak kenal lelah merumuskan sistem baru dan menghadapi banyak kegagalan. Butuh para early adopters yang rela menjadi berbeda dari kebanyakan orang dan dicaci karena perubahan yang dilakukannya. Hingga lama kelamaan akan muncul para early majority dan late majority yang juga mau mengganti budaya lama dengan budaya baru yang lebih sehat. Begitu setidaknya teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Everett Rogers (1962)
Kurva Perubahan Budaya dalam Teori Difusi Inovasi |
Masalahnya, siapa yang mau menjadi innovator dan kemana harus mencari para early adopter?
Apakah harus lari ke hutan belok ke pantai?
Comments
Post a Comment