Hasrat, Informasi dan Media




Dua minggu yang lalu saya diundang untuk mengikuti diskusi tentang media anak di sebuah Perguruan Tinggi. Salah satu pemaparnya yang merupakan dosen di kampus tersebut menyampaikan bahwa dalam setiap media, apapun bentuknya, selalu ada pesan tertentu yang ingin disampaikan. Seperti contohnya karakter He-Man dalam film kartun anak-anak di masa lampau yang digambarkan sebagai sosok kekar dan kuat; memberi pesan bahwa begitulah anak laki-laki seharusnya, bukan yang lemah dan kerempeng.

Hasil gambar untuk mass media
Paparan itu membuat saya mendadak teringat oleh pelajaran-pelajaran saya jaman kuliah dulu. Tentang bagaimana media membentuk masyarakat, yang mana tidak sekedar berhenti di membentuk opini namun juga mendorong aksi. Hal ini yang dulu membuat saya percaya bahwa cinta-cintaan anak muda itu adalah produk majalah sejenis G***S. Hasrat menyukai lawan jenis memang sudah ada secara alami, tapi manakala media memupuknya dengan kisah-kisah romantis maka tumbuh suburlah hasrat itu.

Hasrat ini juga yang kerap kali dipelajari dalam pemasaran. Bagaimana mengenali hasrat manusia dan memenuhinya untuk kepentingan produk adalah dasar dari teori komunikasi pemasaran yang saya pelajari dulu. Namun, jika para produsen jelas-jelas membidik hasrat ini untuk kepentingan penjualannya, maka kepentingan apa yang ingin disasar para pegiat media dengan memupuk hasrat para konsumennya?

Kegelisahan ini yang kemudian saya pertanyakan dalam diskusi tersebut. Sebenarnya masyarakat seperti apa sih yang mau kita tuju? Generasi penerus yang bagaimana yang ingin kita bentuk? Lantas sebagai pegiat media, sudahkah kita merumuskan pesan-pesan yang mengarah pada peraihan tujuan tersebut? Ataukah kita sekedar menyusun konten sedemikian rupa demi kepentingan nama kita semata? Entah itu demi popularitas, kebanggaan diri, ataupun pundi pundi ekonomi.

Pada dekade yang lalu, pegiat media identik dengan mereka yang berada di media massa, entah itu televisi, radio, koran, majalah, buku, dan lain sebagainya. Namun hari ini, kita semua sudah menjadi pegiat media. Kita kerap menyusun konten, atau setidaknya meneruskan konten, untuk disampaikan pada khalayak ramai melalui media sosial. Peran kita sebagai distributor informasi menjadi bagian penting dari pembentukan opini masyarakat dan bahkan pendorongan aksi masyarakat, setidaknya bagi mereka yang ada di lingkaran kita.

Pertanyaannya, seberapa besar kita menyadari peran ini? Ataukah kita sekedar mengikuti arus; menjadi konsumen informasi lantas membantu pendistribusian informasi tanpa sadar sebenarnya apa sih yang mau kita tuju dalam menyebarkan informasi tersebut? Apa sih efeknya manakala informasi tersebut semakin meluas? Adakah sebenarnya hasrat kita dimanfaatkan dalam distibusi informasi ini?

Hasrat Alami Yang Tak Pernah Berubah


Beberapa hari yang lalu saya bermain dengan keponakan saya yang berumur 7 bulan. Saya mengayunkannya ke kanan dan ke kiri tinggi-tinggi. Wajahnya yang biasanya ceria mendadak memasang ekspresi takut. Sayapun segera menghentikan ayunan tersebut dan kembali meletakkannya di pangkuan saya. Namun kejadian ini menyisakan pertanyaan bagi saya, kenapa ya dia bisa merasa takut? Dari mana datangnya rasa takut ini?

Saya lantas teringat tentang hasrat-hasrat alami manusia yang seringkali dibahas dalam diskusi Charlotte Mason. Salah satunya adalah hasrat ingin berada dalam kondisi yang nyaman, sehingga manakala ada perubahan kondisi yang mengancam kenyamanan, maka lumrah jika manusia ketakutan. Keponakan saya tentu merasa kenyamanannya terancam saat saya mengayunkannya tinggi-tinggi, sehingga ia merasa takut.

Hasrat semacam ini melekat dalam diri manusia, berapapun usianya dan pada masa apapun ia hidup. James Clear dalam buku Atomic Habit menyebutnya sebagai Ancient Desire. Perbedaannya ada pada aksi apa yang kemudian dilakukan untuk memenuhi hasrat tersebut. Bayi mungkin hanya bisa memasang ekspresi takut atau menangis, tapi orang dewasa yang ketakutan - dengan segala logika yang sanggup membenarkan segala aksinya - mampu melakukan apapun yang di luar batas nalar orang lain.

Maka terjadilah :

Wah, kalau saya nggak pakai produk X, jangan-jangan nanti saya...

Duh, kalau saya ke luar rumah, jangan-jangan nanti...

Kalau nggak ikutan beli, nanti kehabisan gimana?

Kalau dia tidak disingkirkan, jangan-jangan posisi saya terancam..

..dan macam sebagainya.

Ketakutan alami manusia inilah akhirnya menjadi mangsa empuk bagi produsen ataupun bagi propaganda tertentu. Mereka mengemas dengan beragam media yang menarik sehingga kita merasa bahwa hal tersebut mampu menjadi solusi atas segala kegelisahan kita. Selanjutnya, berkat hasrat ingin berbagi yang besar, kita mendistribusikan konten-konten media tersebut dengan sukarela tanpa membaca hasrat apa yang melatarbelakangi peracikan konten itu. Akibatnya menyebar luaslah hal tersebut, banyak orang mengimitasinya sehingga mereka yang awalnya tidak tertarik menjadi ikut-ikutan tertarik karena hasrat takut tertinggal, atau istilah kerennya FOMO - Fear of Missing Out. 

Jadilah trend.

Jadilah isu yang dibicarakan di mana-mana.

Benar atau tidak? Nanti dulu, yang penting tidak tertinggal.

Dalam pendidikan Charlotte Mason, mengenali hasrat diri menjadi penting salah satunya karena ini. Pendidikan bukan semata urusan akademis tetapi bagaimana menjalani hidup. Bagaimana mengenali hasrat kita agar tidak mudah dipermainkan pihak-pihak lain, juga bagaimana mengenali hasrat pihak lain agar mampu membaca situasi dan tidak gegabah dalam bertindak.

Jika kita tidak mau sekedar menjadi korban dari permainan hasrat demi kepentingan antah berantah, barangkali kita perlu mempertanyakan lagi; apa sih yang sebenarnya kita takuti? mengapa kita takut? apakah ketakutan ini layak dipertahankan atau tidak? apakah aksi yang kita ambil atas ketakutan ini masuk akal atau berlebihan? Atau jangan-jangan kita sudah masuk jebakan batman?
 
                                       Hasil gambar untuk information overloaded

Sebab ya, hari ini kita hidup pada era di mana informasi tidak perlu dicari. Mereka bertubi-tubi membanjiri kita, baik melalui media sosial maupun media massa. Baik yang disuguhi oleh teman-teman kita, ataupun yang disuguhi oleh algoritma. Maka jika dulu kita perlu memiliki kemampuan mencari informasi, hari ini kita perlu kemampuan untuk menyaring dan mengunyah informasi. Bukan saja sebagai konsumen informasi, namun juga sebagai distributor ataupun produsen informasi. 


Comments

Popular posts from this blog

Educate Children To Be a Person

Bermain dengan Hasrat

Alasan Memilih Homeschooling - Part 2